MAKALAH
Mata
Kuliah : Filsafat Islam
FILSAFAT
AL-FARABI (PERIPATETIK)
Dosen Pembimbing
: Drs. H. M Hadi Masruri,Lc, M.A
Oleh:
Nama : Muh. Amiruddin
Salem
Nim : 09130118
JURUSAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS TARBIYAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.
Ketika mempelajari filsafat islam kita juga akan
mempelajari beberapa tokoh filosof muslim beserta pemikiranya. Dalam makalah
ini kita akan membahas salah satu dari filosof muslim yakni Al- Farabi beserta
karya-karyanya dan cara berfilsafatnya. Al
Farabi berpendapat bahwa tujuan filsafat dan agama adalah sama, yaitu
mengetahui semua wujud. Hanya saja filsafat memakai dalil-dalil yang yakini
dan ditujukan kepada golongan tertentu. Sedangkan agama memakai cara iqna’i
(pemuasan perasaan dan kiasan-kiasan serta gambaran), dan ditujukan kepada
semua orang, dalam pemikirannya Al Farabi berusaha memadukan beberapa aliran
filsafat (al-falsafah, al-taufiqiyyah atau wahdah al-falsafah) yang berkembang
sebelumnya, seperti pemikiran Plato, Aristoteles dan Plotinus.
Kerena
itu dia dikenal sebagai filsuf sinkretisme yang mempercayai kesatuaan
filsafat. Dalam ilmu logika dan fisika, ia dipengaruhi oleh Aristoteles. Dalam
masalah akhlak dan politik ia dipengaruhi oleh Plato. Sedangkan dalam persoalan
metafisika ia dipengaruhi oleh Plotinus.
Sesuai dengan latar belakang masalah
diatas maka, perlu di susun suatu perumusan masalah. Adapun perumusan masalah
yang di jadikan ukuran dalam makalah ini sebagai berikut. ”Bagaimana
peran serta pemikiran Al-Farabi dalam Filsafat terutama tentang posisi akal
dalam teori Akal sepuluh
C. Tujuan.
Tujuan dari makalah ini adalah untuk
mengetahui Bagaimana peran serta pemikiran Al-Farabi dalam
Filsafat terutama tentang posisi akal dalam teori Akal sepuluh.
BAB
II
PEMBAHASAN
1. Latar Belakang Pemikiran Al-Farabi.
Pemikiran-pemikiran
beliau seputar filsafat, serta tidak ketinggalan pula biografi beliau secara
singkat agar menambah wawasan kita mengenai Ibnu Farabi.
A. Biografi Singkat Farabi.
Mengenal
sosok atau biografi kehidupan seorang tokoh adalah hal yang sangat penting
sebelum mengkaji buah pemikiran seorang tokoh. Sehingga sudah barang tentu kita
harus mengenal siapa sosok Ibnu Farabi, meskipun hanya sepintas atau sedikit.
Berikut biografi singkat beliau.
Nama
lengkap beliau adalah Abu Nashr Muhammad ibn Muhammad ibn Tarkhn ibn Auzalagh.
Dikalangan orang latin abad tengah ia lebih dikenal dengan Abu Nashr
(Abunaser). Ia dilahirkan di Wasij, distrik farab sekarang lebih dikenal dengan
kota Atrar, di daerah Turkistan pada 257 H/870 M. ibunya berkebangsaan
Turki, sementara Ayahnya seorang jendral berkebangsaan Persia. Sejak
kecil ia telah meninggalkan kota kelahirannya. Ia mengembara ke berbagai Negara
hingga akhirnya tibalah ia ke kota Baghdat, pusat peradaban saat itu di sana ia
memperdalam Filsafat selama dua puluh tahun Ia pernah mengajar dan mengulas
beberapa buku-buku filsafat yunani, diantara anak muridnya yang terkenal adalah
Yahya Ibn ‘Adi, seorang filosuf kristen.
Karena
kepintaran dan kepakarannya dibidang Filsafat, ia diangkat menjadi seorang
ulama istana pada saat pemerintahan Saif al-Daulah al-Hamdani sebuah dinasti
Hamdan di Aleppo kota Damaskus.[1]
Dengan demikian ia mendapatkan tunjangan yang lumayan besar, namun ia lebih
memilih hidup sederhana dengan empat dirham untuk memenuhi hidupnya dalam 1
hari, dan selebihnya ia sedekahkan kepada para fakir miskin di daerah Aleppo
dan Damaskus, bahkan diriwayatkan ia sering kelihatan pada waktu malam sedang
membaca dan mengarang dibawah sinar lampu penjaga malam.
Hampir 10
tahun ia hanya berpindah-pindah dari dua kota itu, yang pada akhirnya hubungan
dua kota itu semakin memburuk, alhasil membuat sultan Saif ad-Daulah
menyerbu kota Damaskus dan berhasil menaklukkanya, sementara Al-Farabi diikut
sertakan dalam penyerbuan itu. Sampai akhirnya ia menutup mata selama-lamanya
di kota itu dalam usia 80 tahun.
B. Peran Al-Farabi Dalam Filsafat.
Al-Farabi
merupakan Filusuf yang pertama yang berhasil memandang filsafat secara utuh dan
menyeluruh seperti di dalam kitab karangannya yang berjudul “Ihsha’u al-‘Ulum” yang memandang Filsafat secara utuh dan sempurna serta
membahasnya secara mendetail ia juga sangat terkenal akan kepakarannya dalam hal
filsafat Aristoteles sehingga ia dikenal dengan sebutan Mu’allim Tsani (Guru
kedua).[2]
Selain itu
lewat usahanya pula perdebatan antara Filsafat Plato dan Aristoteles akhirnya
berakhir. Ia berhasil menyatukan kedua filsafat tersebut lewat karyanya “Al-Jam’u baina Ra’yay al-Hakimain Alfathun
wa Aristhu” yang sering menjadi rujukan para filosuf sesudahnya
seperti Ibnu Rusdy dan Ibnu Sina.
Dalam
karyanya ini ia berhasil memadukan pemikiran kedua Filsafat ini yakni Plato dan
Aristoteles.dalam temuannya ini dikenal dengan istilah “Pemaduan Falsafah” (al-falsafah at-Taufiqiyyah) salah satu
contohnya adalah teori simbol dan gaya bahasa. Dalam memahami pemikiran Plato dalam setiap
karangannya maka akan menemukan kesulitan dalam memahaminya karena Plato lebih
banyak menggunakan gayabahasa yang sulit serta kiasan-kiasan yang sulit
dimengerti. Hal ini terkadang membuat penafsiran yang berbeda mengenai
pemikirannya. Gaya bahasa serta kiasan-kiasan yang dibuat Plato dalam setiap
karangannya karena menurutnya Filsafat hanya bisa dipahami oleh orang-orang
tertentu saja. Hal ini sungguh berbeda sekali dengan Aristoteles yang
menggunakan gaya bahasa yang sistematis dan mudah difahami. Namun dalam
beberapa hal terdapat juga pembahasan yang sulit dipahami seperti dalam hal
akhlaq, ilmu fisika dan metafisika. Karena memang Aristoteles memang membatasi
hal ini hanya untuk orang-orang tertentu saja. Dan Ibnu Farabi menetapkan bahwa
hakekatnya kedua Filosuf ini (Platod dan Aristoteles) membatasi Filsafat hanya
untuk orang-orang tertentu saja. Tidak untuk semua orang.
Alfarabi
berkesimpulaan bahwa Aristoteles dan Plato memiliki tujuan yang sama yakni
mencari sebuah kebenaran, keduanya bertemu dan berjalan seiringan, Alfarabi
menamakannya Neo Plato (Neo Platonisme). Keduanya berjalan seiringan hingga
akhirnya tiba di dalam Islam, yakni keyakinan Islam.
D. Pemikiran Al-Farabi Dalam Filsafat.
Dalam
membahas pemikiran Ibnu Farabi ini kami membagi pemikirannya menjadi beberapa
segi diantaranya, metafisika, akhlaq, jiwa dan lain sebagainya.
a)
Metafisika
Pembahasan mengenai Metafisika ini al-Farabi memulai
bahasan mengenai masalah wujud Allah. Al-Farabi mengemukakan dalil dalam
falsafah yang dikenal dengan dalil (Ontologi) : Dalil yang berpijak pada konsep
wajib dan Mungkin. Menurut Al-Farabi wujud ada dua macam :
a.
Mumkin
Wujud, adanya wujud yang nyata karena ada yang lainnya. Seperti wujud cahaya
yang tidak akan ada, kalau sekiranya tidak ada matahari.
b.
Wajibul
Wujud Lidzatihi, adanya wujud yang nyata dengan terjadi dengan sendirinya.
Wujud ini adalah wujud yang tabiatnya itu sendiri menghendaki wujudnya. Ia
adalah sebab yang pertama bagi semua wujud.
Menurut Al-Farabi
untuk mengetahui Tuhan dapat dibuktikan dengan adanya bukti dari teori gerak.
Semua yang terdapat dialam semesta selalu bergerak yang pada gilirannya
bermuara pada satu hal yang pasti, yaitu adanya sesuatu yang tidak
bergerak tetapi bertindak sebagai penggerak.
Kemudian pada masalah lainya seperti zat Tuhan, Bagi Al-Farabi tuhan
adalah aql murni, Ia esa adanya dan yang menjadi objek pemikirannya hanya
substansi-Nya. Jadi tuhan adalah ’aql, ‘aqil, dan ma’qul (akal, substansi yang
berfikir dan substansi yang difikirkan).
Tuhan yang digambarkan oleh Al-Farabi adalah tuhan yang jauh dari
makhluq-Nya, dan ia tidak dicapai kecuali dengan jalan renungan dan amalan
serta pengalaman-pengalaman tasawuf. Kemudian mengenai penciptaan alam semesta, Al-Farabi
yang ingin mengselaraskan filsafat Yunani dengan Islam sehingga cendrung
menggunakan teori Emanasi yang diusung Platonisme, menurutnya tuhan menciptakan
sesuatu dengan bahan yang sudah ada secara pancaran. Pancaran (emanasi) alam
dari tuhan terjadi sebagai akibat aktivitas tuhan memikirkan (berta’aqul
terhadap) diri-Nya. Aktivitas memikirkan itu menjadi sebab bagi pemancaran
segenap alam ciptaan-Nya. Seperti pemancaran sinar dari matahari. Perbedaan
teori Emanasi yang dianut Platonisme Yunani dengan Emanasi Al-Farabi terletak
pada asal dari pancaran tersebut. Menurut filsafat Platonisme bahwa asal
pancaran itu bukanlah tuhan, akan tetapi bagi filsafat yunani tuhan bukan
pencipta alam, melainkan sebagai penggerak pertama (Prima Causa). Sementara
Al-Farabi menyatakan bahwa asal dari pancaran tersebut adalah Tuhan (pencipta).
b)
Jiwa.
Filsafat
Plato , Aristoteles serta Plotinus, mempengaruhi Al-Farabi tentang jiwa. Jiwa
menurut Al-Farabi bersifat Rohani, ia terwujud setelah adanya badan, dan ia
tidak bisa berpindah-pindah dari badan kebadan yang lain.
Jiwa manusia disebut al-nafs al-nathiqah, ia berasal dari alam Ilahi
sementara jasad berasal dari alam khalq, berbentuk,berupa, berkadar dan
bergerak. Dalam jiwa manusia mempunyai daya gerak (makan, memelihara,
berkembang), daya mengetahui (merasa, imaginasi), daya berfikir (akal praktis,
akal teoritis) sementara daya teoritis (akal potensial, akal aktual, akal
mustafad) Mengenai keabadian jiwa, Al-Farabi membagi antara Jiwa Khalidah dan
Jiwa Fana. Jiwa khalidah adalah jiwa yang mendapatkan kebahagiaan, karena ia
bisa melepaskan diri dari kenikmatan jasmani, ia tidak hancur karena hancurnya
jasad. Yang termasuk kelompok ini adalah akal mustafad. Sementara jiwa fana
tidak sempurna, ia akan hancur seiring hancurnya jasad. Ia akan kekal, tapi
dalam kesengsaraan.
c)
Politik
Dalam pemikiran politiknya, Al-Farabi banyak
terpengaruh pemikiran Platonisme disamping ia selaraskan dengan Islam.
Dalam pembahasannya mengenai Negara, Al-Farabi
menyamakan Negara sama dengan Manusia, yakni seperti yang difahami bahwa Manusia
memiliki organ-organ tubuh yang saling bekerja dengan baik. Misalnya tangan
dengan otak manusia,yang tangan diperintah oleh otak, demikian pula terkadang
otak juga diatur oleh Hati yang memiliki perasaan yang mempertimbangkan baik
atau buruknya. Menurutnya bahwa yang paling terpenting dari Negara adalah
pemimpinnya. Oleh karena itu agar Negara menjadi baik dan maju hendaklah yang
menjadi pemimpinnya adalah paling unggul baik dalam bidang intelektual maupun
moralnya. Dan ia harus memiliki kualitas-kualitas berupa kecerdasan, sehat
jasmani, memiliki tutur kata yang baik, cinta pada pengetahuan, cepat tanggap,
cinta akan kejujuran, kemurahan hati, kesederhanaan, membela keadilan, dan
tidak rakus serta menjauhi kelezatan-kelezatan jasmani. Namun dalam pemikirannya selanjutnya, karena A-Farabi
ingin menselaraskan Filsafat Platonisme dengan Islam sehingga ia menambahkan
sebuah syarat lagi bagi seorang pemimpin yang ideal yaitu: akal-fa’al,
pemikiran Al-Farabi yang mulai memasuki alam khayalan dimana menurutnya sebuah
Negara yang masyarakatnya adalah orang-orang yang suci dan kepala Negara atau
pemimpin negaranya adalah seorang Nabi. Sehingga dari pemikiran ini dapatlah
kita simpulakan bahwa A-farabi lebih banyak berbicara dalam hal teori dari pada
relistis pragmatis, karena memang ia adalah seorang ahli fikir yang dalam.[3]
d)
Akhlaq
Dalam hal ini Al-Farabi menjelaskan bahwa akhlaq itu
bertujuan untuk memperoleh kebahagiaan yang merupakan tujuan tertinggi yang
dirindui, maka wajar kalau masalah akhlaq adalah sesuatu yang paling banyak
ditulis oleh Al-Farabi dalam berbagai kitabnya.
Dalam kitab
Risalah al-Tanbih ‘ala subul al-Sa’adah dan Tahshil al-Sa’adah Al-Farabi
menekankan ada empat jenis sifat utama yang harus dimiliki oleh setiap orang,
untuk mendapatkan kebahagiaan didunia dan diakhirat.
Ø
Keutamaan
Teoritis, prinsip-prinsip pengetahuan yang kita dapat sejak awal tanpa
kita tahu cara dan asalnya. Juga termasuk dengan kontemplasi, penelitian, juga
melalui belajar mengajar.
Ø
Keutamaan
Pemikiran, adalah yang memungkinkan orang mengetahui hal-hal bermanfaat dalam
tujuan.
Ø
Keutamaan
Akhlaq, bertujuan untuk mencari kebaikan, dan ini menjadi syarat keutamaan
pemikiran.
Ø
Keutamaan
Amaliah, dapat diperoleh dengan dua cara, pernyataan-pernyataan yang memuaskan
dan merangsang atau dengan cara lain yaitu dengan pemaksaan.
e)
Teori
Kenabian
Karena pada masa Al-Farabi pemikiran yang berkembang
mengenai kenabian adalah menolak akan kenabian seperti pemikiran Ahmad ibn
ishaq al-Ruwandi dan Zakaria al-Razi, yang menolak akan eksistensi
Kenabian.
Maka
Al-Farabi yang memiliki pemikiran yang berbeda yakni menerima eksistensi
kenabian membuat Al-Farabi mencoba melawan pemikiran tersebut. Meskipun
Al-Farabi dikenal sebagai seorang yang rasionalis namun hal itu bukan berarti
ia menolak eksistensi wahyu Tuhan dan Kenabian. [4]
Menurutnya
Adanya Nabi dan Rasul yang diutus kedunia, bahwa pada umat manusia, akal dan
potensi jiwa mereka terdapat perbedaan keunggulan dalam aktualitas dalam
menangkap informasi secara utuh dan lengkap. Seperti kenyataan bahwa ada orang
yang unggul dari orang lain. Dengan demikian tidak mustahil bahwa ada
orang yang hatinya mampu menerima wahyu, sementara orang lain tidak sanggup. Kemudian menurut Al-Farabi ciri khas seorang nabi
adalah bahwa seorang Nabi mempunyai daya imaginasi yang kuat, dimana obyek
indrawi diluar tidak dapat mempengaruhinya. Jadi manakala ia menerima visi
kebenaran atau wahyu dari tuhan melalui aql fa’al ia mampu berkomunikasi dengan
baik. Al-Farabi kembali menambahkan bahwa kemampuan seorang Nabi berhubungan
dengan malaikat Jibril tanpa diawali latihan, karena Allah telah
menganugerahinya dengan kekuatan suci (Qudsiyah). Sementara filsuf dapat
berhubungan dengan Tuhan melalui akal Mustafad (perolehan) yang sudah
terlatih dan kuat daya tangkapnya, sehingga dapat menerima hal-hal yang
bersifat abstrak murni dari akal. Dengan demikian antara nabi dan filsuf tidak
sejajar tingkatannya, karena setiap nabi adalah filsuf sementara tidak semua
filsuf itu nabi. Karena adanya unsur pilihan. Kembali menurut Al-Farabi bahwa
karena nabi dan filsuf sama-sama dapat berhubungan dengan Akal, maka antara
wahyu dan filsafat tidak terdapat pertentangan.
2. Posisi
akal dalam teori Akal sepuluh.
Tentang penggunaan teori emanasi sebagai pengganti dari
penciptaan yang ditunjukkan dalam al-Qur’an, al-Farabi sebenarnya tidak
sepenuhnya ikut pada Aristoteles, keikutsertaannya hanya pada logika saja yakni
menurut al-Farabi untuk menghindari pengertian adanya zat yang qadim itu
berhubungan dengan yang baharu, yang tidak bisa diterima akal maka dirumuskanlah
sampai sepuluh tingkatan sehingga jauh hubungan antara zat yang qadim dengan
yang banyak. Dengan demikian pemikiran ini lebih banyak dijiwai oleh keinginan
merasionalkan pengertian penciptaan yang ditunjukkan dalam al-Qur’an.
Al-Farabi menggunakan proses konseptual yang
disebutnya dengan nazhariyyah al-faidh (teori emanasi) untuk memahami hubungan
antara Tuhan dan alam pluralis dan empirik. Menurut teori ini, alam terjadi dan
tercipta karena pancaran dari Yang Esa (Tuhan); yaitu keluarnya mumkin al-wujūd
(disebut alam) dari pancaran Wājib al-Wujūd (Tuhan). Proses terjadinya emanasi
(pancaran) ini melalui tafakkur (berpikir) Tuhan tentang diri-Nya, sehingga Wajib al-Wujud juga diartikan sebagai “Tuhan yang berpikir”. Tuhan
senantiaa aktif berpikir tentang diri-Nya sendiri sekaligus menjadi obyek
pemikiran. Al-Farabi memberi 3 istilah yang disandarkan padaTuhan: al-‘Aql
(akal, sebagai zat atau hakikat dari akal-akal); al-‘Āqil (yang berakal,
sebagai subyek lahirnya akal-akal); dan al-Ma’qūl (yang menjadi sasaran akal,
sebagai obyek yang dituju oleh akal-akal).
Sistematika teori emanasi al-Farabi adalah sebagai
berikut:
1.
Tuhan
sebagai al-‘Aql dan sekaligus Wujud I. Tuhan sebagai al-‘Aql (Wujud I) ini
berpikir tentang diri-Nya hingga melahirkan Wujud II yang substansinya adalah
Akal I → al-Samā` al-Awwal (langit pertama).
2.
Wujud
II itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud III yang substansinya
Akal II → al-Kawākib (bintang-bintang).
3.
Wujud
III itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud IV yang substansinya
Akal III → Saturnus.
4.
Wujud
IV itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud V yang substansinya
Akal IV → Jupiter.
5.
Wujud
V itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud VI yang substansinya
Akal V → Mars.
6.
Wujud
VI itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud VII yang substansinya
Akal VI → Matahari.
7.
Wujud
VII itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud VIII yang substansinya
Akal VII → Venus.
8.
Wujud
VIII itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud IX yang substansinya
Akal VIII → Mercury.
9.
Wujud
IX itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud X yang substansinya
Akal IX → Bulan.
10. Wujud X itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan
Wujud XI yang substansinya Akal X → Bumi, ruh, dan materi pertama (hyle) yang
menjadi dasar terbentuknya bumi: api, udara, air, dan tanah.
Akal X ini disebut juga al-‘aql al-fa’āl (akal aktif)
yang biasanya disebut Jibril yang berperan sebagai wāhib al-suwar (pemberi bentuk,
form).
Al-Farabi membagi wujud-wujud itu ke dalam dua kategori: [5]
Al-Farabi membagi wujud-wujud itu ke dalam dua kategori: [5]
a) Esensinya tidak berfisik (baik yang tidak menempati
fisik yaitu (Tuhan,
Akal I, dan Akal-Akal Planet) maupun yang menempati fisik yaitu (jiwa, bentuk, dan materi).
b) Esensinya berfisik (yaitu benda-benda langit, manusia,
hewan, tumbuhan, barang-barang tambang, dan unsur yang empat, yaitu: api,
udara, air, dan tanah).
Demikian gambaran alam dalam astronomi yang diketahui
pada zaman Al Farabi. Pemikiran akal kesepuluh tentang Tuhan tidak cukup kuat
untuk menghasilkan akal, juga karena tidak ada lagi planet yang yang akan
diurusnya. Masing-masing akal mengurus planetnya dan akal kesepuluh ini
terkadang disebut juga Jibril.
BAB
III
KESIMPULAN
Demikianlah
pembahasan mengenai Ibnu Farabi atau Al-Farabi dalam setiap tokoh sudah menjadi
hal yang lumrah bahwa manusia memiliki kekurangan dan kelebihan. Terkadang
bertindak atau berperilaku benar dan juga salah. Dalam berfikir juga demikian
salah dan benar memang tidak aneh lagi jika menimpa seseorang. Karena manusia
memang tidak terlepas dari salah dan lupa. Apalagi dalam masalah filsafat.
Lebih tidak aneh lagi kalau seorang Filosuf berfikir salah, atau nyeleneh.
Untuk itu dalam pemikiran Ibnu Farabi ini tentunya berlaku hukum tersebut yaitu
ada yang salah dan ada pula yang benar. maka alangkah indahnya apa yang
dikatakan Syeikh Bin Baz ketika ditanya bagaimana pandangan beliau
terhadap Dr. Sayyid Qutb, maka Syeikh Bin Baz menjawab dengan kata-kata beliau
yang indah; “Setiap manusia tidak akan terlepas dari benar dan salah. Maka yang
benar dari beliau (Sayyid Qutb) maka ambilah, jika itu salah maka
tinggalkanlah”.
Al Farabi
berpendapat bahwa tujuan filsafat dan agama adalah sama, yaitu mengetahui semua
wujud. Hanya saja filsafat memakai dalil-dalil yang yakini dan ditujukan
kepada golongan tertentu. Sedangkan agama memakai cara iqna’i (pemuasan
perasaan dan kiasan-kiasan serta gambaran), dan ditujukan kepada semua orang,
dalam pemikirannya Al Farabi berusaha memadukan beberapa aliran filsafat
(al-falsafah, al-taufiqiyyah atau wahdah al-falsafah) yang berkembang
sebelumnya, seperti pemikiran Plato, Aristoteles dan Plotinus. Kerena itu dia
dikenal sebagai filsuf sinkretisme yang mempercayai kesatuaan filsafat.
Dalam ilmu logika dan fisika, ia dipengaruhi oleh Aristoteles. Dalam masalah
akhlak dan politik ia dipengaruhi oleh Plato. Sedangkan dalam persoalan
metafisika ia dipengaruhi oleh Plotinus.
Megenai jiwa, Al
Farabi dipengaruhi oleh filsafat Plato, Aristoteles dan Plotinus, menurutnya
jiwa bersifat rohani bukan materi, terwujud setelah adanya badan dan jiwa tidak
berpindah-pindah dari suatu badan ke badan yang lain. Jiwa manusia sebagaimana
materi asal memancar dari akal 10. Kesatuan antara jiwa dan jasad merupakan
kesatuan secara accident, artinya antara keduanya mempunyai substansi yang
berbeda, dan binasanya jasad tidak membawa binasanya jiwa. Jiwa diciptakan saat
jasad siap menerimanya jiwa manusia mempunyai daya-daya, sebagai berikut :
1. Daya gerak (makan, memelihara dan berkembang)
2. Daya mengetahui (merasa dan imajinasi)
3. Daya berfikir (akal praktis dan teoritis)
Daya
teoritis terbagi kepada tiga tingkatan yaitu
1. Akal potensial (baru dapat melepaskan arti atau
bentuk dari materinya)
2. Akal aktual (arti tersebut telah memiliki wujud
dalam akal dengan sebenarnya, bukan lagi dalam bentuk potensi tapi dalam bentuk
aktual)
3. Akal mustafad telah dapat menangkap bentuk yang
tidak dikaitkan dengan materi dan dapat berkomunikasi dengan akal 10.
Al
Farabi membedakan keadian jiwa antara jiwa khalidah dan jiwa fana
1. Jiwa khalidah adalah jiwa fadillah yaitu jiwa yang
mengetahui kebaikan dan perbuatan baik serta dapat melepaskan diri dari iakatan
jasmani yang telah berada pada tingkat akal mustafat. Jiwa ini tidak hancur
dengan hancurnya badan.
2. Jiwa fana adalah jiwa jahilah yaitu jiwa yang belum
dapa lepas dari ikatan materi ia akan hancur dengan hancurnya badan tetapi jiwa
yang tahu kesenangan namun menolaknya tidak akan hancur dan akan kekal dalam
kesengsaraan.
Segi-segi kejiwaan pada Ibnu Sina pada garis
besarnya dapat dibagi menjadi dua segi, yaitu:
1.
Segi fisika,
yang membicarakan tentang macam-macamnya jiwa (jiwa tanam-tanaman, jiwa hewan,
dan jiwa manusia), pembagian kebaikan-kebaikan, jiwa manusia, indera dan
lain-lain, dan pembahasan-pembahasan lain lain yang biasa termasuk dalam
pengertian ilmu jiwa yang sebenarnya.
2.
Segi metafisika,
yang membicarakan tentang wujud dan hakikat jiwa, pertalian jiwa dengan badan,
dan keabadian jiwa.
DAFTAR
PUSTAKA
Aceh,
Abu Bakar, 1982 ,Sejarah Filsafat Islam, Sala: CV. Ramadhani, Cet. II,
Drs. Sudarsono, SH.
2009 Filsafat Islam. Rineka cipta:
jakarta
Anwarudin Harahap.
1981. “Posisi Abu Nasr Al Farabi dalam
Dunia Islam” skripsi sarjana. Jakarta: Fakultas Sastra Universitas
Indonesia
Hanafi,
Ahmad, 1996 “Pengantar Filsafat Islam,” Bulan Bintang, Jakarta:
cet.VI ,
[3]
Anwarudin Harahap. 1981. “Posisi Abu Nasr
Al Farabi dalam Dunia Islam” , skripsi sarjana. Jakarta: Fakultas Sastra
Universitas Indonesia
Ditulis Oleh : Unknown ~ Amierul El Neymar JR
Sobat sedang membaca artikel tentang MAKALAH FILSAFAT AL-FARABI (PERIPATETIK). Dan terimakasih atas kunjungan sobat. Oleh Admin : Sobat diperbolehkan mengcopy paste atau menyebar-luaskan artikel ini, namun jangan lupa untuk meletakkan link dibawah ini sebagai sumbernya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar