Indonesia dengan jumlah penduduk muslim terbesar di
dunia dijuluki sebagai a violent country (Freek Colombijn and J. Thomas
Lindblad, 2003: 1). Yakni sebuah negeri kekerasan atau negeri drakula.
Kekerasan negara terhadap rakyat Aceh dan Papua, perang etnik di Kalimantan
Barat dan Kalimantan Tengah, perang atau konflik di Maluku, kekerasan Mei 1998
di Jakarta, merupakan contoh paling nyata dari fakta kekerasan di negeri kita
tercinta itu. Belum dihitung berbagai bentuk kekerasan pada periode-periode
sebelum ini, terutama pada zaman Orde Baru seperti tragedi Tanjung Priok dan
sebagainya. Mungkin Amerika Serikat, Inggris, dan Australia kini menjulukinya
sebagai negeri teroris, meskipun mereka tak menyadari kalau telah menjadi
teroris yang disebut state terrorism. Jadi lengkaplah keburukan negeri
yang berpenduduk mayoritas muslim ini, karena sebelumnya dikenal pula sebagai negeri terkorup di dunia, negeri
dengan angka merah dalam hal pemakaian narkoba, dan negeri yang wajahnya sangat
kusam di mata dunia karena bom dan krisis.
Sebagai suatu gejala sosial yang selalu muncul baik di
negeri ini maupun di negeri-negeri lain di muka bumi ini, kekerasan merupakan
fenomena yang kompleks. Artinya baik pelaku maupu korban dengan proses dan
peristiwa yang terjadi di dalamnya tidaklah terjadi begitu saja dan dalam
gejala yang tunggal, tetapi sering terkait
dengan berbagai faktor yang menyertainya. Ukuran-ukuran dan analisis
tentang kekerasan pun tidaklah cukup
hanya dengan menggunakan parameter-parameter kuantitatif, karena derajat
kualitas kekerasan biasanya jauh lebih kompleks dan ganas ketimbang aspek
kuantitasnya. Angka 1,2% untuk menunjukkan tingkat kekerasan yang dialami oleh
Tenaga Kerja Wanita (TKW) di Arab Saudi seperti yang ditunjukkan pemerintah
Saudi dan Indonesia untuk menunjukkan sedikitnya TKW yang memperoleh perlakuan
buruk ketimbang yang sukses, terkesan menghibur namun sangatlah menyesatkan
karena mereka yang mengalami nasib buruk tersebut meskipun angka kuantitasnya
digambarkan kecil tetapi derajat keburukan nasibnya sangatlah besar yaitu
dilecehkan, dianiaya, diperkosa, dan bahkan dibunuh. Padahal satu orang pun
yang mengalami nasib buruk semacam itu dia adalah anak manusia, yang pengaruh
buruknya terus membekas sepanjang hidup manusia itu sendiri, yang siapapun tak berhak merenggutnya. Islam
bahkan menekankan, “..barangsiapa yang membunuh seorang manusia bukan karena
orang itu membunuh orang lain atau bukan kerena membuat kerusakan di muka bumi
maka seakan-akan telah membunuh manusia seluruhnya, dan barangsiapa yang
memelihara kehidupan seorang manusia maka seolah-olah dia telah memelihara
kehidupan manusia seluruhnya..” (Q.S. Al-Maidah: 32).
Sebagai negeri muslim terbesar tentu saja julukan lumbung
kekerasan dan terorisme sangatlah menyakitkan, sebab selain negeri-negeri lain
pun mengalami fenomena yang sama dalam berbagai bentuk, juga tidak dengan
sendirinya umat Islam dengan kemuslimannya dan Islam sebagai agama damai secara
otomatis terlibat dan menjadi pelaku dalam tindakan-tindakan kekerasan yang
disebutkan itu. Namun nalar naïf yang gampangan akan dengan mudah mengaitkan
kekerasan tersebut --lebih-lebih dengan pelaku yang menggunakan symbol-simbol
Islam-- dengan umat Islam selaku penduduk mayoritas. Fakta kekerasan yang
sering ditunjukkan secara gampangan dengan umat Islam antara lain kasus bom
Bali, Marriot, dan bom malam natal. Konflik di Maluku dan Poso, yang sering
dikatakan melibatkan kelompok radikal Kristen dan Muslim. Berdirinya
laskar-laskar beratribut Islam. Belakangan isu terorisme yang ditudingkan
kepada Jamaah Islamiyah dan Al-Qaeda, yang keduanya beratribut gerakan Islam,
meskipun tudingan serampangan itu sulit dibuktikan keberadaannya di Indonesia.
Nalar
gampangan itu di satu pihak akan menggiring pada asumsi bahwa ternyata Islam
yang dipeluk oleh mayoritas penduduk Indonesia belum menjadi kekuatan profetik
dalam mempengaruhi perilaku para pemeluknya maupun mempengaruhi kondisi bangsa
ini. Di pihak lain secara gampangan akan muncul pula asumsi bahwa karena
mayoritas di negeri ini kaum muslim maka kebanyakan tindakan-tindakan kekerasan
dan hal-hal buruk yang terjadi di negeri ini sedikit atau banyak melibatkan
pribadi-pribadi muslim. Asumsi kedua yang naïf tersebut tentu saja berlaku bagi
negeri-negeri mayoritas agama lain di negeri-negeri lain dan hal itu tidak
terlalu salah juga karena seudah selayaknya agama yang dipeluk itu memiliki
korelasi dengan kondisi dan perilaku masyarakat di mana agama-agama itu tumbuh
dan dipeluk para umatnya. Sebab jika agama dan keberagamaan tidak lagi
bertanggungjawab pada lingkungan dan kondisi di mana dia berada maka siapa lagi
yang harus bertanggungjawab? Bahwa tidak sepenuhnya logika itu menggambarkan
fakta dan kenyataan empirik dan tidak dengan sendirinya harus terjadi secara
kausalitas seperti itu memang benar adanya. Tetapi substansinya ialah bagaimana
agama dan keberagamaan para pemeluknya --termasuk Islam dan umat Islam-- harus bertanggungjawab pada kehidupan di mana
dia berada sebagai bentuk dari aktualisasi rislah Islam itu sendiri untuk
membawa rahmatan lil-‘alamin.
Kekerasan sebagai
fenomena yang kompleks pada umumnya muncul karena faktor-faktor yang juga
kompleks. Faktor domestik seperti kesenjangan ekonomi, ketidak-adilan, kondisi
politik dan pemerintahan, kondisi sosial yang patologis, dan faktor-faktor lain
yang melekat dalam karakter kelompok dan budaya. Faktor internasional seperti
ketidak-adilan global, politik luar negeri yang arogan dari negera-negara maju,
dan tata hubungan dunia yang tidak berkembang sebagaimana mestinya. Kedua
faktor tersebut sering bertemu dengan faktor-faktor situasional yang sering
tidak dapat dikontrol dan diprediksi, yang menjadi titik pemicu terjadinya
kekerasan. Munculnya fenomena fundamentalisme agama yang militan misalnya baik
di kalangan Islam, Kristen maupun Yahudi menurut Amstrong terkait sebagai
respons terhadap sergapan sekularisme dan modernitas yang agresif, yang
dianggap bukan saja meminggirkan agama sebagai sekadar urusan pribadi tetapi
juga untuk memelihara agama dari pemusnahan oleh sekularisme dan modernitas
itu”.(Karen Amstrong,, 2001: 576).Di sini radikalisme agama baik sebagai
fenomena keberagamaan maupun dalam kaitannya dengan tindakan-tindakan kekerasan
yang sering dikaitkan dengan agama bukan gejala yang terjadi dengan sendirinya.
Dalam konteks
agama-agama dan umat beragama munculnya kekerasan selain karena faktor-faktor
struktural, kultural, dan situasional sebagaimana digambarkan tadi, juga sampai
kadar tertentu memiliki kaitan substansi atau simbolik dengan pesan-pesan
ajaran yang dalam aktualisasinya disalahtafsirkan atau memperoleh
pemaknaan-pemaknaan yang dangkal seperti konsep jihad dalam Islam atau crusade
di kalangan Krsitiani, yang oleh Tariq Ali (2002) dikatakan melahirkan “the
clash of fundamentalisms”. Yakni tumbuhnya individu-individu dan
kelompok-kelompok fanatik-buta dalam beragama dan menyikapi pemeluk agama lain
maupun dalam merespons perkembangan yang dianggap tak menyenangkan yang
melahirkan radikalisme agama di sejumlah belahan dunia.
Fenomena
radikalisme dan fundamentalisme yang rigid bahkan melahirkan apa yang oleh
Frank Graziano (1992: 11) disebut dengan divine violence, kekerasan
bersifat ketuhanan. Gejala divine violence menurut Graziano menawarkan
proyek keselamatan (salvation) yang memicu semangat perang salib dan mesianisme
di Eropa abad tengah, juga radikalisme kaum kristiani di Amerika Latin. Dengan
kata lain, kekerasan sampai batas tertentu memiliki basis-basis nilai (sistem
keyakinan) atau basis-basis kultural (sistem pengetahuan kolektif) pada
individu dan kelompok yang melakukannya, selain karena faktor-faktor
struktural, kultural, dan situasional pada tingkat makro.Radikalisme agama yang
sering dikaitkan dengan militansi yang melahirkan kekerasan, bahkan secara
negatif menuding lahirnya “koalisi gelap” antara agama dan kekerasan, yang
kemudian disebut fenomena religion-violence atau kekerasan agama.
Kekerasan agama melahirkan peran kosmis antarmanusia khususnya para pemeluk
agama. Dalam konteks inilah agama sering dijadikan sebagai sumber ideologi,
motivasi, dan struktur organisasional bagi para pelaku kekerasan atasnama agama
(Mark Juergensmeyer, 2002: 6).
Bagi Islam dan
umat Islam sesungguhnya kekerasan dalam bentuk apapun merupakan sesuatu yang
bertentangan dengan pesan luhur Islam sendiri sebagai agama pembawa risalah
perdamaian. Kekerasan negara (aparat pemerintah dan institusi-institusi
represif) terhadap warga negara, kekerasan terhadap anak-anak dan perempuan,
kekerasan yang dilakukan kelompok terhadap kelompok lain atau terhadap
individu, kekerasan individu terhadap individu lainnya, merupakan bagian dari
agenda untuk diperangi melalui dakwah amar ma’ruf nahi munkar. Dengan kata lain
gerakan perdamaian dan antikekerasan haruslah merupakan bagian dari risalah dakwah
Islam.
Langkah-langkah
aktual yang dapat dilakukan dari gerakan perdamaian dan antikekerasan dalam
pespektif Islam antara lain: (1) Mengembangkan paham atau pemikiran keagamaan
yang berorientasi pada perdamaian dan antikekerasan (teologi perdamaian, fikih
perdamaian, dan etika perdamaian) dengan memberi makna atau penafsiran yang
lebih luas dan mendalam tentang jihad
fiy sabilillah dan mengeliminasi paham-paham keagamaan yang sempit dan
cenderung konfrontatif, (2)
Mengembangkan pendidikan perdamaian sebagai upaya mewujudkan budaya perdamaian
dan budaya antikekerasan dalam masyarakat melalui berbagai media di keluarga,
sekolah, dan lingkungan pergaulan sosial.
(3) Mengembangkan kelompok-kelompok umat untuk gerakan perdamaian dan
antikekerasan sebagai bagian dari Gerakan Jamaah dan Dakwah Jamaah, (4)
Mengembangkan jaringan komunitas sebagai kelompok penekan (pressure groups)
terhadap kebijakan-kebijakan negara dan berbagai tindakan-tindakan kekerasan
dalam masyarakat, termasuk mendorong tegaknya fungsi hukum dalam mengeksekusi
tindakan-tindakan kekerasan.
Ditulis Oleh : Unknown ~ Amierul El Neymar JR
Sobat sedang membaca artikel tentang Gerakan Anti Kekerasan. Dan terimakasih atas kunjungan sobat. Oleh Admin : Sobat diperbolehkan mengcopy paste atau menyebar-luaskan artikel ini, namun jangan lupa untuk meletakkan link dibawah ini sebagai sumbernya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar