25 Maret 2013

Hubungan Antara Filsafat Ilmu Dengan Logika

HUBUNGAN FILSAFAT ILMU DENGAN LOGIKA

Secara terminology, filsafat ilmu[1] adalah refleksi filsafati yang tidak pernah mengenal titik henti dalam menjelajahi kawasan ilmiah untuk mencapai kebenaran atau kenyataan, sesuatu yang memang tidak pernah habis difikirkan dan tidak pernah akan selesai diterangkan. Dengan kata lain filsafat ilmu adalah refleksi yang mengakar tentang prinsip-prinsip ilmu atau hakikat ilmu. Prinsip ilmu adalah sebaba funcamental dan kebenaran universal yang lengket di dalam ilmu, yang pada akhirnya memberikan jawaban tentang keberadaan ilmu.

Sedangkan menurut the Liang Gie[2], filsafat ilmu adalah segenap pemikiran reflektif terhadap persoalan-persoalan mengenai segala hal yang menyangkut landasan ilmu maupun hubungan ilmu dengan segala segi dari kehidupan manusia.
Filsafat ilmu itu mempertanyakan dan menilai metode-metode pemikiran ilmiah serta mencoba menetapkan nilai dan pentingnya usaha ilmiah sebagai suatu keseluruhan[3]. Dengan demikian filsafat ilmu merupakan cabang dari ilmu filsafat yang mengkaji dasar dan hakekat ilmu untuk mencapai kebenaran dan kenyataan yang tidak akan habis difikirkan dan tidak selesai diterangkan.
Filsafat ilmu memberikan kerangka dasar dalam berolah ilmu agar proses dan produk keilmuan yang dihasilkan tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah moral, etika dan kesusilaan.
      Logika berasal dari bahasa Yunani, dari kata sifat "logike" yang berhubungan dengan kata benda "logos" yang berarti 'perkataan' atau 'kata' sebagai manifestasi dari ikiran manusia. Dengan demikian terdapatlah suatu jalinan yang kuat antara pikiran dan kata yang dimanifestasikan dalam bahasa. Secara etimologis dapatlah diartikan bahwa logika itu adalah ilmu yang mempelajari pikiran yang dinyatakan dalam bahasa.
Logika adalah ilmu yang merumuskan tentang hukum-hukum, asas-asas, aturan-aturan atau kaidah-kaidah tentang berpikir yang harus ditaati supaya kita dapat berpikir tepat dan mencapai kebenaran. Atau dapat pula didefinisikan sebagai suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari aktivitas akal atau rasio manusia dipandang dari segi benar atau salah[4]. Dari sini dapat diketahui bahwa tugas logika adalah memberikan penerangan bagaimana orang seharusnya berpikir, dan obyek forma logika adalah mencari jawaban tentang bagaimana manusia dapat berpikir dengan semestinya[5].
Dari definisi tersebut di atas, maka dapat diketahui bahwa, dilihat dari metodenya dapat dibedakan atas logika tradisional dan logika modern[6]. Logika tradisional adalah logika Aristiteles, dan logika dari logika logikus yang lebih kemudian, tetapi masih mengikuti sistem logika Aristoteles. Para logikus sesudah Aristoteles tidak membuat perubahan atau mencipta sistem baru dalam logika kecuali hanya membuat komentar yang menjadikan logika Aristoteles lebih elegant dengan sekedar mengadakan perbaikan-perbaikan dan membuang hal-hal yang tidak penting dari logika Aristoteles. Logika modern tumbuh dan dimulai pada abad VIII. Mulai abad ini ditemukan sistem baru, metode baru yang berlain dengan sistem logika Aristoteles.
      Apabila logika tersebut dilihat dari obyeknya akan dikenal sebagai logika formal dan logika material. Pemikiran yang benar dapat dibedakan menjadi dua bentuk yang berbeda, yakni cara berfikir dari umum ke khusus dan cara berfikir dari khusus ke umum. Cara pertama disebut berfikir deduktif dipergunakan dalam logika formal yang mempelajari dasar-dasar persesuaian (tidk adanya pertetangan) dalam pemikiran dengan mempergunakan hukum-hukum, rumus-rumus, patokan-patokan berfikir benar. Cara berfikir induktif dipergunakan dalam logika material, yang mempelajari dasar-dasar persesuaian pikiran dengan kenyataan. Ia menilai hasil pekerjaan logika formal dan menguji benar tidaknya dengan kenyataan empiris. Cabang logika formal disebut juga logika minor, logika materia disebut logika mayor. Hal inilah yang merupakan inti daripada logika 
Proses berfikir yang ada pada diri manusia adalah berdialog dengan diri sendiri dalam batin dengan manifestasinya adalah mempertimbangkan merenungkan, menganalisis, menunjukan alasan-alasan, membuktikan sesuatu, menggolong-golongkan, membanding-bandingkan, menarik kesimpulan, meneliti sesuatu jalan fikiran, mencari kausalitasnya, membahas secara realitas dan sebagainya[7].
Dengan berpikir, merupakan suatu bentuk kegiatan akal atau rasio manusia dengan mana pengetahuan yang kita terima melalui panca indera diolah dan ditujuaan untuk mencapai suatu kebenaran.
      Aktivitas berpikir adalah berdialog dengan diri sendiri dalam batin dengan manifestasinya yaitu mempertimbangkan, merenungkan, menganalisis, manunjukkan alasan-alasan, membuktikan sesuatu, menggolang-golongkan, membanding-bandingkan, menarik kesimpulan, meneliti suatu jalam pikiran, mecari kausalitasnya, mebahas secara realitas dan lain-lain.
Di dalam aktivitas berpikir itulah ditunjukkan dalam logika wawasan berpikir yang tepat atau ketepatan pemikrian/kebenaran berpikir yang sesuai dengan penggarisan logika yang disebut berpikir logis. 
Agar supaya pemikiran dan penalaran kita dapat berdaya guna dengan membuahkan kesimpulan-kesimpulan yang benar, valid dan sahih, ada 3 syarat pokok yang harus dipenuhi : 1) pemikiran haruslah berpangkal pada kenyataan atau kebenaran, 2) alasan-alasan yang dikemukakan haruslah tepat dan kuat, 3) jalan pikiran haruslah logis.
Berkaitan dengan hal tersebut, logika dapat disistematisasikan menjadi beberapa golongan tergantung dari mana kita meninjuanya. Dilihat dari segi kualitasnya, logika dapat dibedakan menjadi logika naturalis, yaitu kecakapan berlogika berdasarkan kemampuan akan bawaan manusia. Akal manusia yang normal dapat bekerja secara spontan sesuai dengan hukum-hukum logika dasar. Bagaimanapun rendahnya intelegensi seseorang ia dapat membedakan bahwa sesuatu itu adalah berbeda dengan sesuatu yang lain, dan bahwa dua kenyataan yang bertetangan tidaklah sama.
Kemampuan berlogika naturalis pada tiap-tiap orang berbeda-beda tergantung dari tingkatan pengetahuannnya. Kita dapati para ahli pidato politikus dan mereka yang terbiasa bertukar pikiran dapat mengutarakan jalan pikiran dengan logis, meskipun barangkali mereka belum pernah membuka buku logika sekalipun. Tetapi dalam menghadapi yang rumit dan dalam berfikir manusia banyak dipengaruhi oleh kecenderungan pribadi, disamping bahwa pengetahuan manusia terbatas mengakibatkan tidak mungkin terhindar dari kesalahan. Untuk mengatasi kenytaan yang tidak dapat ditanggulangi oleh logika naturalis, manusia menyususn hukum-hukum, patokan-patokan, rumus-rumus berfikir lurus. Logika ini disebut logika artifisialis atau logika ilmia yang bertugas membantu logika naturalis. Logika ini memperluas, mempertajam serta menunjukkan jalan pemikiran agar akal dapat bekerja lebih teliti, efisien, mudah dan aman sehingga tercapai tujuan dari apa yang diinginkan.
Dari hal tersebut di atas, dapat diketahui bahwa logika adalah salah satu cabang atau bagian dari filsafat ilmu yang mempelajari tentang aktivitas akal atau rasio manusia dipandang dari segi benar atau salah. Atau dengan kata lain, filsafat ilmu sebagai penopang dalam kerangka menggunakan rasio guna berpikir agar suapaya tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah etika, moral dan kesusialaan. Dengan kata lain hubungan filsafat ilmu dengan logika adalah filsafat ilmu sebagai tolak ukur atau alat penilaian dari proses menggunakan rasio. 

MODEL LOGIKA

Secara histories, istilah logika pertama kali digunakan oleh Zeno dari Citium[8], Kaum sofis Skortes dan Plato harus dicatat sebagai perintis lahirnya logika. Logika lahir sebagai ilmu atas jasa Aristoteles, Theoprotus dan kaum Stoa.
      Dalam perjalanannya, istilah logika dapat disistematisasikan menjadi beberapa golongan tergantung dari mana kita meninjuanya. Dilihat dari segi kualitasnya, logika dapat dibedakan menjadi logika naturalis, yaitu kecakapan berlogika berdasarkan kemampuan akan bawaan manusia. Akal manusia yang normal dapat bekerja secara spontan sesuai dengan hukum-hukum logika dasar. Bagaimanapun rendahnya intelegensi seseorang ia dapat membedakan bahwa sesuatu itu adalah berbeda dengan sesuatu yang lain, dan bahwa dua kenyataan yang bertetangan tidaklah sama.
      Sedangkan apabila dilihat dari metodenya dapat dibedakan atas logika tradisional dan logika modern. Logika tradisional adalah logika Aristiteles, dan logika dari logika logikus yang lebih kemudian, tetapi masih mengikuti sistem logika Aristoteles. Para logikus sesudah Aristoteles tidak membuat perubahan atau mencipta sistem baru dalam logika kecuali hanya membuat komentar yang menjadikan logika Aristoteles lebih elegant dengan sekedar mengadaka perbaikan-perbaikan dan membuang hal-hal yang tidak penting dari logika Aristoteles
      Jika dilihat dari obyeknya dikenal sebagai logika formal dan logika material. Pemikiran yang benar dapat dibedakan menjadi dua bentuk yang berbeda, yakni cara berfikir dari umum ke khusus dan cara berfikir dari khusus ke umum. Cara pertama disebut berfikir deduktif dipergunakan dalam logika formal yang mempelajari dasar-dasar persesuaian (tidak adanya pertetangan) dalam pemikiran dengan mempergunakan hukum-hukum, rumus-rumus, patokan-patokan berfikir benar.
Logika formil Aristoteles, yang dikenal dengan nama "syllogisme". Syllogisme adalah suatu bentuk penarikan kesimpulan atau konklusi secara deduktif dan tidak langusng yang kesimpulan atau konklusinya ditarik dari dua buah premis yang disediakan sekaligus. Yang penting kita ketahui dari syllogisme dan bentuk-bentuk inferensi atau penalaran deduktif yang lain adalah bahwa masalah-masalah kebenaran dan ketidak benaran pada premis-premis yang selalu diambil adalah yang benar. Ini berarti bahwa konklusi memang sudah didasari oleh kondisi kebenaran. Jadi syllogisme hanya mempersoalkan 'kebenaran formal' (kebenaran bentuk) tanpa mempersoalkan 'kebenaran material' (kebenaran isi).
Sebuah syllogisme terdiri atas 3 buah proposisi, yaitu dua buah proposisi yang diberikan atau disajikan dan sebuha proposisi yang ditarik dari kedua proposisi yang disajikan itu. Proposisi yang disajikan disebut 'premis mayor' dan 'premis minor' dan kesimpulan yang ditarik disebut 'konklusi'.
Disamping logika tersebut ada pula logika deduktif yaitu bertolak dari asumsi umum(teori) menuju kepembuktian secara khusus (fakta emperis). Penalaran deduktif adalah kegiatan berpikir yang berlawanan dengan penalaran induktif. Deduksi adalah penalaran atau cara berpikir yang bertola dari pernyataan-pernyataan yang bersifat umum, menarik kesimpulan yang bersifat khusus. Penarikan kesimpulan secara deduktif biasanya memakai pola berpikir yang disebut syllogisme. Syllogisme tersusun dari dua buah pernyataan (premise) dan sebuah kesimpulan (konklusi).
Logika induktif yaitu berdasarkan fenomena khusus(fakta emperis), menuju kekesimpulan secara umum (teori yang berlaku umum). Induksi sangat erat hubungannya dengan metode ilmiah (scientific method), bahkan merupakand asar daripada metode ilmiah.
Induktif atau logika induktif adalah penarikan kesimpulan dari kasus-kasus individual nyata (khusus) menjadi kesimpulan yang bersifat umum. Penalaran ini diawali dengan mengemukakan pernyataan-pernyataan yang mempunyai ruang lingkup yang khas dan terbatas dalam menyusun argumentasi dan diakhiri dengan pernyataan yang bersifat umum

HUBUNGAN FILSAFAT ILMU DAN PENELITIAN

      Dalam kaitannya dengan hubungan filsafat ilmu dan penelitian, terdapat tiga komponen dasar yang erat kaitannya dengan penelitian yaitu : ontologi, epistimologi, dan aksiologi.
Dalam pembahasan ontology, epistimologi dan aksiologi dikaitkan dengan lgika yang digunakan untuk pembuktian, baik mengenai kenyataan, kebenaran dan tingkat kepastian, dapat dikelompokkan menjadi dua aliran filsafat ilmu yaitu, empirisme dan rasionalisme/rasionalisme menghendaki kebenaran imperik logic, etik dan transcendental/metafisik, memunculkan logika penomenologik.
Pada logika positivistic menghendaki perencanaan riset yang rigor/ketat,rinci, terukur, terkontrol dan penetapan data yang konkrit yang teramati, memunculkan jenis  penelitian kuantitatif.logika phenomenologikmenhendaki perancanaan riset yang longgar dan luwes, sebab data yang dicari tidak pasti, sangat tergantung pada fenomena yang dijadikan sasaran risetnya, memunculkan jenis penelitian kualitatif.
A. Ontologi
      Sebagai komponen dasar filsafat, ontology memiliki obyek telaah yaitu yang ada. Studi tentang yang ada pada dataran studi filsafat pada umumnya dilakukan oleh filsafat metafisika. Istilah ontologi ketika kita membahas yang ada dalam konteks filsafat ilmu. Ontologi membahas tetantang yang ada yang tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu. Ontologi membahas yang ada yang universal, menampilkan pemikiran semesta universal.
      Sedangkan yang merupakan obyek formal ontologi adalah hakekat seluruh realitas. Bagi pendekatan kuantitaif, realita tampil dalam kuantitas atau jumlah, telaahnya akan menjadi telaah monisme, paralenisme, atau pluralisme. Bagi pendekatan kualitatif, realitas akan tampil menjadi aliran-aliran materialisme, idialisme, naturalisme atau hylomorphisme. Dalam hal ini ada tiga tingkatan abstraksi dalam ontologi, yaitu: abstraksi fisik, abstraksi bentuk dan abstraksi metafisik.     
B. Epistimolgi
      Istilah epistimologi berasal dari kata epiteme yang bebarti pengetahuan dan logos yang berarti pengetahuan, dan logos yang berarti teori. Secara etimologis, berarti teri pengetahuan. Epistimologi merupakan cabang filsafat yang mempersoalakan atau menyelidiki tentang asal, susunan, metode, serta kebenaran pengetahuan. Jadi epistimologi merupakan cabang atau bagian dari filsafat yang membahasa maslaah-masalah pengetahuan[9].
Epistimologi atau teori pengetahuan, membahas secara menadalam segenap proses yang terlihat alam usaha kita untuk memperoleh pengetauan. Ilmu merupakan pengetahuan yang didapat melalaui proses tertentu yang dinamakn  metode keilmuan.
Sebagai komponen dasar selanjutnya adalah epistimologi yaitu pembahasan tentang bagaimana cara memperoleh kebenaan ilmu pengetahuan. Bagaimana tata cara memperoleh kebenaran ilmu pengetahuan ini dipengaruhi oleh ontologi yang dipilihnya. Epistimologi dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu epistimologi subyektif dan epistimologi pragmatik. Epistimologi subyektif memberikan implikasi pada standar rasional tentang hal yang duyakini. Menggunakan standar rasional bearti bahwa sesuatu yang diyakini sebagai benar itu tentunya memiliki sifat reliabel (ajek).
      Sejarah mengatakan bahwa tokoh epistimologi prakmatig adalah Wiliams Jams dan juga Jhon Dewey[10] yang menyarankan agar pencarian pada yang kekal hendaknya diganti dengan pencermatan realistik mengkritik ide palsu, diganti dengan pencermatan eksperimental dan empirik, menggunakan means mencari ins untuk selanjutnya menjadi means. Hal ini merupakan bukti bahwa ontology merupakan bagian penting dari filsafat.
      Dalam perjalanan keilmuan yang terjadi pada masa dahulu, membuktikan bahwa ilmuwan terdahulu menampilkan tesis dan teori yang secara berkelanjutan disanggah atau dimodifikasi atau diperkaya oleh ilmuwan berikutnya. Kebenaran-kebenaran yang ditampilkan berupa tesis atau teori yang bersifat kondisional sejauh medianya demikian, sampelnya itu, desainnya demikian dan seterusnya. Dengan demikian kebenaran yang diperoleh dengan cara kerja demikian adalah kebenaran epistimologik. Ilmu pengetahuan yang berkembang sekarang dengan metodologi yang kita kenal sekarang ini lebih banyak menjangkau kebenaran epistimologik, belum menjangkau kebenaran subtantif hakiki, yang merupakan esensi dari keilmuan itu sendiri.
C. Aksiologi
      Komponen dasar selanjutnya dalam filsafat adalah aksiologi yaitu pembahasan tentang bentuk ilmu yang dihasilkan dari penelitian. Inipun dipengaruhi oleh ontologi yang digunakan. Ontologi yang memahami sesuatu itu tunggal penelitiannya jenis kuantitatif, maka ilmu yang dibentuknya disebut nomotetik dan bebas nilai (value).
      Menurut Scheler ada empat jenis values dalam aksiologi. Pertama, value sensual, dalam tampilan seperti menyenangkan dan tak menyenangkan. Kedua, nilai hidup seperti edel (agung) atau gemein (bersahaja). Ketiga, nilai kejiwaan seperti nilai estetis, nilai benar salah, dan nilai instrinsik ilmu. Keempat nilai religius, seperti yang suci, yang sakral[11]. Dari telaah yang dilakukan oleh Scheler tentang etik kontras dengan Kant. Kant berbicara sollen (kemistian), sedangkan Scheller memandang bahwa kemestian itu sesuatu yang dibuat-buat.

HUBUNGAN FILSAFAT ILMU, LOGIKA DAN PENELITIAN

Dari kajian tentang filsafat ilmu, logika dan penelitian, dapat diketahui bahwa antara filsafat ilmu, logika dan penelitian memiliki hubungan yang sinergi. Filsafat ilmu yang membahas tentang ontologi, epistimologi dan aksiologi dikaitkan dengan logika yang digunakan untuk pembuktian, baik mengenai kenyataan, kebenaran dan tingkat kepastian, dapat dikelompokkan menjadi dua aliran filsafat ilmu yaitu empirisme dan rasionalisme atau realisme yang merupakan aliran yang berbeda.
      Dalam filsafat rasionalisme atau realisme lebih menekankan pada cara berfikir positivistik paradigma kuantitatif. Berfikir positivistik adalah bersifat spesifik berpikir tentang empiri yang teramati, yang teratur, dan dapat dieliminasi serta di manupulasikan dari satuan besarnya.
      Penelian berusaha untuk mencapai kebenaran atau menemukan teori-teori ilmiah. Penelitian dalam konteks ini dapat dipahami sebagai proses epistemologis untuk mencapai kebenaran. Sumber kebenaran semata-mata berasal dari realitas empiris-sensual, demikian pandangan positivisme. Sunarto (1993) menjelaskan, August Comte yang dianggap sebagai peletak dasar positivisme memperkenalkan “hukum tiga jenjang” perkembangan intelektual manusia, yakni: jenjang teologi, metafisika, dan positivis. Hal ini tercermin dari cara manusia menjelaskan berbagai gejala sosial ekonomi. Manusia pada jenjang pertama mengacu kepada hal-hal yang bersifat adikodrati; pada jenjang kedua mengacu kepada kekuatan-kekuatan metafisik, dan pada jenjang ketiga mengacu pada deskripsi dan hukum-hukum ilmiah. Positivisme tidak mengakui – atau setidaknya menganggap rendah -- hal-hal yang di luar empiris-sensual manusia.
      Bertolak dari hukum-hukum ilmiah, positivisme menekankan bahwa obyek yang dikaji harus berupa fakta, dan bahwa kajian harus mengarah kepada kepastian dan kecermatan. Menurut Comte, sarana yang dapat dilakukan untuk melakukan kajian ilmiah ialah: pengamatan, perbandingan, eksperimen, dan metode historis. Positivisme, menurut Muhadjir (2000) – yang guru besar filsafat ilmu dan metode penelitian – tidak mempertentangkan antara logika induktif atau deduktif, melainkan lebih menekankan fakta empiris yang menjadi sumber teori dan penemuan ilmiah.
      Berbeda dengan positivisme, rasionalisme menekankan bahwa ilmu berasal dari pemahaman intelektual yang dibangun atas kemampuan argumentasi secara logik. Karena itu, yang penting bagi rasionalisme ialah ketajaman dalam pemaknaan empiri. Muhadjir (2000) menegaskan, pemahaman intelektual dan kemampuan argumentatif perlu didukung data empirik yang relevan, agar produk ilmu yang berlandaskan rasionalisme betul-betul ilmu, bukan fiksi. Bagi rasionalisme fakta empirik bukan hanya yang sensual, melainkan ada empiri logik, empiri teoritik, dan empiri etik. Misalnya: ruang angkasa, peninggalan sejarah masa lampau, dan jarak sekian tahun juta cahaya, semuanya merupakan realitas tetapi tidak mudah dihayatti secara sensual melainkan dapat dihayati secara teoritik. Karena itu, rasionalisme mengakui realitas empirik teoritik dan empiris logik (Muhadjir, 2000: 81-2).
Dalam aliran positivistik logik sangat menolak terhadap ethik transendental yang berada dikawasan metafisik. Para penganut neo-Kantian dikenal sebagai epistimologi positivistik yang menolak segala bentuk ethik transenden. Salah satu prinsip utama dalam positivisme adalah penerapan prinsip variabilitas terhadap sesuatu sebagai benar. Apakah sesuatu dideskripsikan sebagai benar dalam menggunakan proposisi atau bentuk lain, perlu diferivikasi benar sakahnya. Sesuatu deskripsi yang benar mungkin sekali diperkembangkan menjadi hukum, yang diharapkan dapat memberikan inferensi, memprediksikan untuk kasus lain, atau kasus mendatang.
      Berbeda dengan aliran empirik logik yang pada akhirnya memunculkan logika phenomologik. Dalam berfikir dalam phenomologi antrophologi mengarah kearah mencari esensi, mencari sifat generatif, mencari kesimpulan idiografik,dan filsafat yang memberikan landasan adalah phenomologi Hussert.     Realisme metaphisik Popper berangkan dari filsafat positivistik analitik. Bertemu dengan filsafat phenomologi Hussert antara lain pada pengakuan tentang kebenaran obyektif universal. Yang obyektif universal tersebut menurut Hussert dan juga Popper merupakan suatu abstraksi yang tidak dapat dibuktikan. Pembuktiannya sebatas pada kasus.

PENELITIAN KUANTITATIF VS KUALITATIF

Dalam penelitian, terdapat dua hal yang berbeda, yaitu penelitian kuantitatif dan penelitian kualitatif. Kedua jenis ini akan dijelaskan sebagai berikut :
a. Penelitian Kuantitatif
Dalam penelitan kuantitatif diasosiasikan, dengan istilah pengukuran yang bersifat normative, yaitu dengan menentukan formula statistik dan kuesioner. Menurut Noeng Muhajir tentang penelitian kuantitatif yaitu : pertama, penelitian kuantitatif bersumber pada wawasan filsafat positivisme, filsafat mengembangkan metodologi atas dasar logika induktif, artinya bahwa ilmu bergerak dari fakta khusus fenomena ke generalisasi teoretik. Kedua, Pola pikir kuantitatif adalah mengejar yang teratur yang teramati, yang empiri sensual, menggunakan logika matematis dan membuat generalisasi, dimana generalisasi tersebut dikonstruksikan dari strata keragaman individual. Ketiga, metodologi kuantitatif menuntut adanya rancangan penelitian yang menspesifikasikan obyeknya secara eksplisit di eliminasikan dari obyek-obyek lain yang tidak teliti. Keempat, metodologi kuantitatif mengembangkan teknik analisis dengan membatasi pada tata piker logika, korelasi, kausalitas, interaksi, intervalisasi dan kontinyuasi, kelima, Tujuan dari penelitian kuantitatif dengan pendekatan positivisme adalah untuk menyusun ilmu nomotheuk, yakni ilmu yang berupaya membuat hukum dari generalisasinya. Kebenaran di cari lewat hubungan kausal linier sebab akibat. Teori kebenarannya adalah teori korespondensi, bahwa sesuatu itu benar bila ada ke sesuaian antara pernyataan verbal dengan realita empiric (empiric sensual). [12]
b. Penelitian Kualitatif
      Adapun jenis penelitian kualitatif  tidak menggunakan statistic atau pengukuran angka, menurut kirk dan Miller adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan social yang secara fundamental bergantung pada pengamatan manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bhasanya dan dalam peristilahanya. Penelitian ini cenderung menggunakan pendekatan interpretive.
Dalam penelitian kualitatif, Lexsy Moleong[13] mengemukakan berbagai ciri dalam pendekatan penelitian kualitatif ini, yaitu : latar alamiah, manusia sebagai alat (instrument), analsis data secara induktif, deskiptif,kepala ualitatif mendefinisikan validitas, realibilitas, dan obyektivitas, desain bersifat sementara dan lain-lain
Perbedaan antara kualitatif dengan kuantitatif menjadi tidak nampak. Demikian halnya perbedaan antara paradigma ilmiah dengan paradigma alamiah menjadi hilang, setidaknya semakin menipis. Karena itu, kedua penelitian kuantitatif dan kualitatif saling melengkapi satu sama lain yang sama-sama diperlukan.

MENENTUKAN JENIS PENELITIAN KUANTITATIF ATAU KUALITATIF

      Setelah diadakan pemedaan secara konseptual antara penelitian kuantitatif dan penelitian kualitatif, dapat diketahui bahwa antara pendekatan kuantitatif dan kualitatif mengandung perbedaan antara keduanya, bahwa penelitian kualitatif itu berakar pada latar alamiah sebagai keutuhan, mengandalkan manusia sebagai alat penelitian, mengadakan analisis data secara induktif, sasaran penelitianya pada usaha menemukan teori dari dasar, bersifat deskriptif, lebih mementingkan proses dari pada hasil, membatasi setudi dengan focus, memiliki seperangkat criteria untuk memeriksa keabsahan data, rancangan penelitiannya bersifat sementara dan hasil penelitiannya disepakati oleh kedua belah pihak peneliti dan objek penelitian, dan bertumpu pada pendekatan fenomenologi[14].
      Dalam melakukan analisis deskriptif kuantitatif peneliti mencari jumlah frekuensi dan mencari prosentasenya, dan analisis lain yang juga masih bersifat deskriptif adalah analisis deskriptif kualitatif yang tujuan akhirnya memberikan predikat kepada variable yang diteliti sesuai dengan tolah ukur yang sudah ditentukan, penelitian evaluasi merupakan jenis penelitian yang banyak menggunakan teknik analisis deskriptif kualitatif ini, langkah yang dilalui adalah mengadakan pengukuran secara kuantitas terhadap variable, kemudian baru mentransfer harga kuantitas tersebut menjadi predikat.
      Sedangkan dalam melakukan penelitian kualitatif dilakukan pada latar alamiah atau konteks dari suatu keutuhan, hal ini dilakukan, menurut Lincoln dan Guba, karena ontology alamiah menghendaki adanya kenyataan-kenyataan sebagai keutuhan yang tidak dapat dipahami jika dipisahkan dari konteks. Menurut mereka hal tersebut didasarkan atas bebrapa asumsi yaitu: tindakan pengamatan mempengaruhi apa yang dilihat, karena itu hubungan penelitian harus mengambil tempat pada keutuhan dalam konteks untuk keperluan pemahaman. Konteks yang menentukan dalam menentapkan apakah suatu penemuan mempunyai arti bagi konteks lainya, yang berarti bahwa suatu fenomena harus diteliti dalam keseluruhan pengaruh lapangan.

     

PARADIGMA PENELITIAN KUANTITATIF DAN KUALITATIF

Dalam bidang kajian penelitian, pada hakekatnya wahana untuk menemukan kebenaran atau lebih membenarkan kebenaran. Usaha untuk mengejar kebenaran dilakukan oleh para filosof, peneliti, maupun oleh para praktisi melalui model-model terrtentu. Paradigma, menurut bogdan dan biklen adalah kumpulan longgar dari sejumlah asumsi yang dipegang bersama , nkonsep aatu proposisi yang mengarahkan cara berpikir dan penelitian.
Ada bermacam-macam paradigma, tetapi yang mendominasi ilmu pengetahuan adalah scientific paradigm (paradigma keilmuan), namun untuk memudahkan penulis menerjemahkannya secara harfiah sebagai paradigma ilmiah dan naturalistik paradigm atau paradigma alamiah. Paradigma ilmiah bersumber dari pandangan postivisme, sedangkan pandangan alamiah bersumber pada padangan fenomenologis sebagai yang telah dikemukakan.
      Paradigma dalam kaitannya dengan penelitian pada hakekatnya merupakan wahana untuk menemukan kebenaran atau lebih membenarkan suatu kebenaran, ada bermacam-macam paradigma, tetapi yang mendominasi ilmu pengetahuan adalah scientifik paradigma keilmuan, paradigma ilmiah dan naturalistik paradigma atau paradigma alamiah. Paradigma ilmiah bersumber pandangan positivisme, sedangkan pandangan alamiah bersumber pada pandangan fenomenologi.
Dalam kaitannya dengan penelitian kuantitatif terkait secara khas dengan proses induksi enumeratif (induksi yang ditarik atas dasar penghitungan) salah satu tujuan utamanya adalah menemukan beberapa banyak dan jenis manusia apa saja dalam populasi umum dan populasi induk yang mempunyai karaktristik khusus yang ditemukan ada dalam populasi sample[15]. Tujuannya adalah menyimpulkan sistem karaktristik atau hubungan antara ubahan dengan populasi induk.
      Sedangkan dalam penelitian kualitatif konsep dan kategori, bukan kejadian atau frekwensinya, dengan kata lain penelitian kualitatif tidak meneliti suatu lahan kosong tetapi ia menggalinya. Disamping itu sepanjang penelitian kualitatif mempunyai tujuan yang bersifat teoritis, bukan deskriptif, ini khususnya dalam studi kasus yang menggunakan metode kualitatif, maka pengujuan teorinya yang lebih penting.
      Paradigma penelitian kualitatif di antaranya diilhami falsafah rasionalisme yang menghendaki adanya pembahasan holistik, sistemik, dan mengungkapkan makna di balik fakta empiris sensual. Secara epistemologis, metodologi penelitian dengan pendekatan rasionalistik menuntut agar obyek yang diteliti tidak dilepaskan dari konteksnya; atau setidaknya obyek diteliti dengan fokus atau aksentuasi tertentu, tetapi tidak mengeliminasi konteksnya. Meminjam istilah Moleong (1989), penelitian kualitatif bertolak dari paradigma alamiah. Artinya, penelitian ini mengasumsikan bahwa realitas empiris terjadi dalam suatu konteks sosio-kultural, saling terkait satu sama lain. Karena itu, setiap fenomena sosial harus diungkap secara holistik.
Perbedaan yang paling esensial dari kedua penelitian tersebut adalah dalam tradisi kualitatif, peniliti harus menggunakan diri sebagai instrument mencapai wawasan-wawasan imajinatif kedalam dunia social responden, peneliti diharapkan fleksibel dan reflektif tetapi tetap mengambil jarak Konsekuensi dari pendekatan ini adalah metode penelitian kualitatif per excellence merupakan observasi partisipatoris.
      Sedangkan pada tradisi kuantitatif instrument tersebut adalah alat teknologis yang telah ditentukan sebelumnya dan tertata dengan baik sehingga tidak banyak memberi peluang bagi fleksibilitas, masukan imajinatif dan refleksifitas, misalnya : apabila masalah yang diteliti telah ditentukan dengan jelas dan pertanyaan yang diajukan kepada para responden  memerlukan jawaban yang tidak ambigus, maka metode kuantitatif seperti koesioner boleh jadi memang tepat digunakan dalam kondisi seperti ini.
      Berkaitan dengan logika penelitian menurut paradigma kuantitatif, adalah persoalan generalisasian, sedang dalam penelitian kualitatif yang tidak didasarkan pada sample statistic, masalah kegeneralisasian tidak muncul dengan model yang sama, pertanyaan-pertanyaannya agak berbeda, perhatianya berkisar pada replikasi temuan-temuan dalam kasus-kasus lain yang serupa atau inferensi-inferensi biasanya bersifa teoritis atau kausal kecuali jika tentu saja kasus-kasus dipilih menurut sample probabilitas.
      Sedangkan logika penelitian menurut paradigma kuantitatif, perlu juga diajukan pertanyaan-pertanyaan menyangkut kelompok-kelompok pembanding keputusan-keputusan, disini biasanya tidak begitu berkembang dengan pertanyaan teoretis sentaral dari penelitisn dan lebih sering menyangkut variasi-variasi yang diharapkan dalam populasi umum ynag ingin diamati peneliti dalam pengujian hipotesis.
Berkaitan dengan hal tersebut di atasKirk dan Miller memberi definisi bahwa penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan  sosial, yang secara fundamental bergantung pada pengamatan manusia dalam kawasanya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang dalam bahasanya dan dalam peristiwanya. Sedangkan Bogdan dan Taylor mendefinisikan metodologi kualitatif sebagai prosedur penilaian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan prilaku yang dapat diamati secara cermat dan detail[16].
      Dalam metode kualitatif, Lexy Moleong[17] mengemukakan bahwa penelitian kualitatif di dasarkan pada : pondasi penelitian, paradigma penelitian, perumusan masalah, tahap-tahap penelitian, tehnik penelitian, kriteria dan tehnik pemeriksaan data, analisia dan penafsiran data.
      Sedangkan cirri dari penelitian kuantitatif menurut Abdullah Kadjar memiliki beberapa ciri yaitu : dapat menyokong pengguna metode kualitatif, menggunakan logika positivisme dan menghindari sifat-sifat subyaktif, menggunakan pengukuran yang terkendali, obyektif, dapat dipandang dari sudut pandang (visi) orang luar atau peneliti, berwawasan verivikasi, penegas, penyederhanaan, inferensial dan hipotesis deduktif, berorientasi pada tujuan akhir, terpercaya, data merupakan replica, menggeneralisasikan sebagai studi kasus, bersifat khusus dan bertitik tolak pada anggapan bahwa realitas itu stabil.
Menurut Noeng Muhadjir metodologi penelitian kuantitatif ringkasnya yaitu : Penelitian kuantitatif bersumber pada wawasan filsafat positivisme, pola fakir kuantitatif empris sensual, menuntut adanya rancangan kerangka teoritis, karena secara onologis, realitas menuntut positivisme dapat dipecah-pecah, dapat dipelajari secara independent, dieliminasikan dari obyek lain, dan dapat dikontrol, mengembangkan teknik analisis dengan membatasi pada tata fakir logika,korelasi,kausalitas, interaksi, intervaliasi dan kontinyuasi, dengan pendekatan positivisme yaitu untuk menyusun ilmu nomothetik (empiric sensual) dan hasil penelitian harus bebas nilai, harus obyektif agar supaya hasil yang dicapai maksimal
      Berangkat dari hal tersebut di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa elemen pokok didalam paradigma penelitian baik kualitatif atau kuantitatif menyangkut tiga hal yaitu ontology, epistemologi dan metodologi, dan asumsi-asumsi yang digunakan akan menentukan jenis penelitian, bisa kuantitatif dan juga bisa kualitatif.

MACAM-MACAM PARADIGMA PENELITIAN

Dari berbagai macam paradigma yang ada, paradigma penelitian dibagi menjadi dua, yaitu positivistic dan non positivistic. Paradigma positivistic dipelopori oleh August Comte dalam pemikirannya, terutama dalam masalah-masalah kemasyarakatan banyak dipengaruhi oleh Saint Simon. Menurut Simon bahwa segala sesuatu terjadi berdasarkan hukum-hukum yang dapat dibuktikan dengan observasi dan percobaan. Selanjutnya menurut Simon bahwa penjelasan suatu masyarakat secara ilmiah dapat ditentukan dengan mengemukkan hukum perubahan histories atas dasar induksi sebagai postulat[18].
      Paradigma ini dikatakan positivisme, karena mereka beranggapan bahwa yang dapat kita selidiki dan yang dapat kita pelajari hanyalah berdasarkan fakta-fakta, yang berdasarkan data-data yang nyata, yaitu yang mereka namakan positif. Apa yang kita ketahui itu hanyalah yang tampak saja, di luar itu kita tidak perlu mengetahuinya, dan tidak perlu untuk diketahui. Positivisme membatasi penyelidikan atau studinya hanya kepada bidang gejala-gejala saja, tidak kepada studi yang lain.
      Dari berbagai prosedur yang ada, prosedur ilmu pengetahuan tidak memberi peluang untuk tidak menguji eorit-teori secara langsung dalam pengalaman. Ilmu pengetahuan harus diyakini, baik untuk mencapai generalisasi deskriptif maupun memperoleh penjelasan-penjelasan yang dapat diversifikasi secar langsung agar validitasnya terbukti. Dalam hal ini, positivisme sebagai filsafat mengemukakan pandangannya, bahwa segala sesuatu yang terjadi berdasarkan hukum-hukum yang dapat dibuktikan dengan observasi, eksperimen dan verivikasi.
      Berbeda dengan fenomenologi dalam kaitannya paradigma positivistic. Fenomenologi lebih menunjukkan suatu metode filsafat dibanding dengan suatu ajaran[19]. Metode fenomenologis ini berasal dari Edmund Hussrl (1859-1938), kemudian dikembangkan oleh Marx Scheler (1874-1928). Dalam pendidikan yang pertama kali menerapkan metode fenomenologis adalah Langeveld. Paradigma Fenomenologi ini mengemukakan bahwa kita harus memperknalkan gejala-gejala dengan menggunakan intuisi. Kenyataan atau realisasi tidak harus didekati dengan argument-argumen, konsep dan teori umum, maupun dengan menggunakan pendekatan empiriz, seperti dengan observasidan eksperimen.
       Paradigma positivistic yang menuntut segalanya serba konkrit, rinci dan pasti, menjadi paradigama penelitian kuantitaif. Paradigma ini kemudian dikenal  dengan paradigma ilmiah (saitific paradigm). Sedangkan paradigma lain yang menuntut pemahaman lebih mendalam untuk menguak makna dibalik fakta danmenuntut kewajaran alamiah serta pemaknaan arti menurut subyek pelakunya, lalu dikenal dengan paradigma alamiyah (naturalistic paradigma), kemudian paradigma ini menjadi ciri dari model kualitatif[20].
      Sebelum peneliti menyusun desain, harus memilih paradigma penelitian terlebih dahulu. Perlu dijelaskan, bahwa paradigma itu terdiri dari tiga elemen, yaitu elemen ontology, elemen epistimologi dan elemen metodologi. Ketiga elemn tersebut harus sinkron, karena tiap paardigma mempunyai pandangan tersendiri tentang ontoloi, epitimologi dan metodeloginya. Dpaat dipahami bahwa satu paradigma menghendaki metologi tertentu yang paling tepat. Positivistic menghendaki model penelitian kuantitatif, sedangkan paradigama non positivistic bisa menggunakan model penelitian kualitatif. Namun dalam perkembangannya, semakin jelas penggunaan paradigma ini menjadi ciri suatu model penelitian[21].
Dalam setiap model penelitian, yaitu model penelitian kuantitatif bertujuan mengetahui hubungan sebab-akibat. Hal ini mengakibatkan jenis penelitian ini harus berangkat dari teori yang diterjemahkan ke dalam proposisi (pernyataan yang dapat diuji kebenarannya), kemudian diturunkan menjadi hipotesis yang dilakukan pengujian berdasarkan data yang berhasil dikumpulkan. Karena itu, peneliti kuantitatif berpendirian reduksionis, yakni hanya mencari fokus kecil di antara berbagai fenomena sosial yang sesuai dengan teori yang hendak dibuktikannya.
      Sebaliknya penelitian kualitatif, ia mengembangkan perspektif yang akan digunakan untuk memahami dan menggambarkan realitas. Karena itu, peneliti kualitatif berpendirian ekspansionis, tidak reduksionis. Ia tidak menggunakan proposisi yang berangkat dari teori melainkan menggunakan pengetahuan umum yang sudah diketahui serta tidak mungkin dinyatakan dalam bentuk proposisi dan hipotesis. Karena itu, dalam penelitian kualitatif tidak terdapat hipotesis tentatif yang hendak diuji berdasarkan data lapangan.

PERBEDAAN PENDEKATAN PENELITIAN
KUANTITATIF DAN KUALITATIF

      Ada hal mendasar yang membedakan antara pendekatan penelitian kuantitif dengan penelitian kualitatif. Dalam penelitan kuantitatif diasosiasikan dengan istilah pengukuran yang bersifat normative, yaitu dengan menentukan formula statistik dan kuesioner, dan cenderung dengan menggunakan angka-angka.
Dalam penelitian kuantitatif menggunakan paradigma positivistik-ilmiah. Segala sesuatu dikatakan ilmiah bila dapat diukur dan diamati secara obyektif yang mengarah kepada kepastian dan kecermatan. Karena itu, paradigma ilmiah-positivisme melahirkan berbagai bentuk percobaan, perlakuan, pengukuran dan uji-uji statistik. Menurut Noeng Muhajir penelitian kuantitatif dapat dilihat dari cirri-cirinya sebagai berikut, yaitu :
  1. Penelitian kuantitatif bersumber pada wawasan filsafat positivisme, filsafat mengembangkan metodologi atas dasar logika induktif, artinya bahwa ilmu bergerak dari fakta khusus fenomena ke generalisasi teoretik. Hal ini karena ilmu benar (valid) adalah ilmu yang dibangun dari kenyataan empiris.
  2. Pola pikir kuantitatif adalah mengejar yang teratur yang teramati, yang empiri sensual, menggunakan logika matematis dan membuat generalisasi, dimana generalisasi tersebut dikonstruksikan dari strata keragaman individual.
  3. Metodologi kuantitatif menuntut adanya rancangan penelitian yang menspesifikasikan obyeknya secara eksplisit di eliminasikan dari obyek-obyek lain yang tidak teliti. Demikian juga kerangka teoretis perlu dirumuskan sespeksifik mungkin, sebab secara ontologism, relitas menurut positivisme dapat di pecah-pecah, dapat di pelajari secar independent, di eliminasikan dari obyek lain dan dapat dikontrol.
  4. Metodologi kuantitatif mengembangkan teknik analisis dengan membatasi pada tata pikir logika, korelasi, kausalitas, interaksi, intervalisasi dan kontinyuasi
  5. Tujuan dari penelitian kuantitatif dengan pendekatan positivisme adalah untuk menyusun ilmu nomotheuk, yakni ilmu yang berupaya membuat hukum dari generalisasinya. Kebenaran di cari lewat hubungan kausallinier sebab akibat. Teori kebenarannya adalah teori korespondensi, bahwa sesuatu itu benar bila ada ke sesuaian antara pernyataan verbal dengan realita empiric (empiric sensual)
  6. Hasil penelitian harus bebas nilai, harus obyektif, dapat berlaku kapan dan dimana saja (bebas waktu dan tempat). Agar hasil penelitian dapat di peroleh secara obyektif, subyektif dan obyek yang diteliti harus terpisah
  7. langkah penelitian :Penetapan obyek yang spesifik terpisah dari totalitas, Penyususnan kerangka teoretis sesuai dengan ke khususan obyek studi, Merumuskan problematika penelitiannya, Merumuskan hipotetis, Menentukan instrument pengumpulan data, Menentukan teknik sampling, Menentukan teknik analisis.
Berangkat dari asumsi di atas, maka dapat diketahui bahwa, secara garis besar proses penelitian terdiri dua tahapan yakni tahap teoretis dan tahap empiris. Hal itu karena pada hakekatnya penelitian merupakan usaha untuk menjembatani dunai konseptual dengan dunia empiris. Pada tahap teoretis peneliti menysun kerangka pemikiran yang akan digunakan untuk menghubungkan kenyataan yang akan diteliti dengan alam pemikiran peneliti. Selanjutnya dengan berpedoman kepada kerangka pemikiran yang akan di gunakan untuk menghubungkan pada tahap empiris, peneliti mengabstaksikan gejala-gejala empiris sehingga menjadi konsep, kemudian menggeneralisasikan konsep sehingga menjadi konsepsional dengan dunia empiris itu peneliti melakukan penerapan dua system logika yakni logika induktif dan logika deduktif.
      Berbeda dengan penelitian kualitatif  tidak menggunakan statistic atau pengukuran angka, akan tetapi hanya dinyatakan dengan bentuk sistematika analisa terhadap berbagai hal. menurut Kirk dan Miller adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan social yang secara fundamental bergantung pada pengamatan manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bhasanya dan dalam peristilahanya. Penelitian ini cenderung menggunakan pendekatan interpretive, menurut Lexsy Moleong[22] ada beberapa ciri pendekatan ini:
1. Latar alamiah
      Artinya melakukan pada latar alamiah atau pada konteks dari satu keutuhan (entity), hal ini dimaksudkan agar kenyataan sebagai satu keutuhan tidak akan dapat dipahami jika dipisahkan dari konteksnya, karena tindakan pengamatan mempengaruhi obyek yang dilihat, dan konteks sangat menentukan penetapan apakah suatu penemuan mempunyai arti bagi konteks lainnya, ini berarti bahwa suatu fenomena harus diteliti secara keseluruhan yang terkait dengan pengaruh lapangan
2. Manusia sebagai alat (instrument)
      Hal ini dilakukan karena jika memanfaatkan alat yang bukan manusia dan mempersiapkannya terlebih dahulu sebagai yang lazim digunakan dalam penelitian klasik, maka tidak mungkin untuk mengadakan penyesuaian terhadap kenyataan-kenyataan yang ada dilapangan.
3. Analsis data secara induktif
      Analisis induktif digunakan karena ada beberapa pertimbangan, karena proses induktif lebih dapat menemukan kenyataan-kenyataan ganda sebagai yang terdapat dalam data, karena lebih dapat membuat hubungan peneliti dengan responden menjadi eksplisit dan lain-lan
4. Deskiptif
      Data yang dikumpulkan berupa kata-kata, gambar dan bukan angka, dokumen dan sebagainya dideskripsikan sehingga dapat memberikan kejelasan terhadap kenyataan atau realitas
5. Kualitatif mendefinisikan validitas, realibilitas, dan obyektivitas
6. Desain bersifat sementara dan lain-lain
      Berangkat dari perbedaan yang sangat esensial antara penelitian kuantitatif dengan peneiltian kualitatif maka dapat diketahuui bahwa landasan berfikir penelitian kualitatif yang menggunakan pendekatan positivistic adalah falsafah positivisme dengan memanfaatkan metode kuantitatif. Jika dideskripsikan dengan langkah-langkah yang terstruktur teramati, yang memori sensual, membuat generalisasi, mengakomodasi deskripsi verbal, menggantikan angka atau menggabungkan olahan statistic dengan olahan verbal.
      Disamping pendekatan positivistic, terdapat pula pendekatan rasionalistik adalah metodologi penelitian kualitatif yang berlandaskan filsafat rasionalisme dan tidak sekedar menggunakan rasio. Pendekatan ini juga mengejar diperolehnya generalisasi atau hokum-hukum baru. Bedanya positivistic karena ia bertitik tolak dari grand concept.
Dari hal tersebut di atas, dapat diketahui bahwa penelitian kualitatif disebut sebagai paradigma alamiah, karena penelitian ini menggunakan teknik kualitatif, yakni pengungkapan realitas tanpa melakukan pengukuran yang baku dan pasti. Peneliti berusaha menggambarkan fenomena sosial secara holistik tanpa  perlakuan manipulatif. Keaslian dan kepastian merupakan faktor yang sangat ditekankan. Karena itu, kriteria kualitas lebih ditekankan pada relevansi, yakni signifikasi dan kepekaan individu terhadap lingkungan sebagaimana adanya. Sebaliknya penelitian kuantitatif disebut sebagai paradigma ilmiah lebih ditekankan pada validitas internal dan eksternal, reliabilitas instrumen dan obyektivitas.

DESAIN PENELITIAN KUANTITATIF DAN KUALITATATIF
& MACAM-MACAM DESAIN PENELITIAN

Dalam upaya mendesain penelitian kuantitatif dan kualitatif, maka ada beberapa langkah yang perlu dijawab untuk melakukan penelitian dengan menggunakan kedua pendekatan tersebut. Menurut Norman dan Yvona, setiap desain harus menjawab empat pokok pertanyaan yang sangat erat kaitannya dengan pembentukan desai penelitian, yaitu :
Bagaimana menghubungkan desain dengan paradigma ?
Dalam upaya menghubungkan desain dengan paradigma, maka diperlukan data yang menggunakan perspektif teoritik tertentu, kita bisa mengenal pola piker yang digunakan dalam menyusun proposisi dan pola hubungan antar konsep dalam fenomena yang dihadapi. Dari pola pikir dan pola hubungan antar konsep inilah, bisa ditentukan data (variable) apa saja yang akan dicari guna dijadikan sebagai pedoman penelitian.
Apa dan siapa yang akan diteliti ?
Pertanyaan ini berusaha untuk menjawab tentang obyek kajian yang akan diteliti oleh peneliti yang berkaitan dengan tujuan penelitian. Mengenai apa dan siapa ini, bisa berupa benda-benda, individu, bisa kelompok, bisa lembaga dan sebagainya. Bila siapa yang menjadi sumber data, maka bisa ditentukan populasi, sample, responden, informannya sesuai dengan model penelitian dan kebutuhannya di lapangan.
Strategi apa yang akan digunakan dalam meneliti ?
Berkaitan dengan strategi yang akan digunakan oleh peneliti untuk meneliti obyke kajiannya, maka dalam hal ini terdapat beberapa macam strategi penelitian yang dapat digunakan agar supaya hasil penelitiannya valid dan dapat diverivikasi. Di bawah ini terdapat strategi penelitian sekaligus desain penelitiannya yang kami kutip dari Prof Drs. H. M. Kasiram, M. Sc[23] sebagai berikut :
Dari paradigma ilmiah, muncul beberapa strategi penelitian antara lain :
Strategi penelitian                    Desain penelitian
Deskriptif                           Desain diskriptif
Korelasi                             Desain korelasi
Kausal                                    Desain kausal
Komparatif                          Desain komparatif
Eksperimen                         Desain eksperinmental
Quasi eksperimental                       Desain quasi eksperimental
Action research                     Desain action research
Metode apa yang akan digunakan ?
Setelah kita mendesaian penelitian yang akan kita lakukan, maka langkah selanjutnya adalah, maka berdasarkan sumber data dan variable/data yang akan diacari, maka dengan mudah pula ditentukan metode pengumpulan datanya, instrument pengumpulan data, dan sekaligus metode analisis data yang akan digunakan dalam proses pelaksanaan penelitiannya.
Desain yang ada tersebut akan memberikan kemudahan dalam proses mencari dan menganalisa data, sehingga peneliti tidak akan menemukan kesulitan yang berarti dalam pelaksanaan penelitiannya kelak.

MENGGABUNGKAN PENELITIAN KUANTITATIF DAN KUALITATIF

Berbicara mengenai upaya penggabungan antara penelitian kuantitaif dan penelitian kualititaif, maka nantinya akan didapatkan suatu titik temu yang berkaitan dengan pelaksanaan penelitian yang dilakukan oleh para peneliti, yang pada akhirnya memberikan kemudahan kepada para peneliti. Biasanya, peneliti kuantitatif biasanya tidak puas dengan hasil analisis statistic. Misalnya dengan data yang dikumpulkan dengan kuesioner, analisis statistic dilakukan untuk menemukan hubungan antara dua tau lebih variable. Ternyata hasilnya tidak memuaskan karena tidak ada hubungan. Peneliti meragukan hasilnya karena hipotesisnya tidak teruji, untuk itu ia lalu mengadakan wawancara mendalam untuk melengkapi penelitiannya. Hal ini mengindikasikan bahwa peneliti berusaha menggabungkan dua karakteristik penlitian yang berbeda, yaitu kuantitatif dan kualitatif.
      Begitu juga sebaliknya terjadi, peneliti kualitatif sering menggunakan data kuantitatif, namun yang sering terjadi pada umumnya tidak menggunakan analisis kuantitatif bersama-sama. Jadi, dapat dikatakan bahwa kedua pendekatan tersebut dapat diguinakan apabila desainnya adalah memanfaatkan satu paradigma sedangkan paradigma lainya hanya sebagai pelengkap saja.
Dari sebagian besar uraian metodologi tampaknya sepakat bahwa sepanjang dua paradigma yang berbeda dianggap ada, perbedaan yang terpenting adalah cara masing-masing memperlakukan data. Dalam tradisi kualitatif peneliti harus menggunakan diri mereka sebagai instrument, mengikuti asumsi-asumsi cultural sekaligus mengikuti data konsekuensi dari pendekatan ini adalah metode penelitian kualitatif merupakan observasi partisipatoris (pengamatan terlibat). Dalam tradisi kuantitatif instrument tersebut adalah alat teknoogis yang telah ditentukan sebelumnya dan tertata dengan baik sehingga tidak banyak memberi peluang bagi fleksibelitas, masukan imajinatif dan refleksitas. Tehnik kuantitatif seperti wawancara mendalam lebih dibutuhkan.[24]Dari upaya proses penggabungan kedua jenis penelitian tersebut, antara kuantitatif dengan kualitatif, dapat dijelaskan bahwa perbedaan antara kedua paradigma itu terkait dengan tingkat pembentukan pengetahuan dan proses penelitian. Penggabungan dua metode yang berbeda  dalam sebuah rangkaian penelitian memunculkan persoalan gerak antara paradigma-paradigma pada tingkat epistemology dan teori dalam praksisnya.
Dalam proses penggabungan pendekatan dan metode disusun menurut beberapa factor : pertama, menyangkut arti penting yang diberikan kepad amasing-masing pendekatan dalam keseluruhan proyek. Kedua, menyangkut urutan waktu, jangka waktu untuk mana kedua metode ditempuh secara simultan. Jelaslah bahwa konstribusi metode kualitatif terhadap perumusan maslaah teoritis yang dikaji oleh suvei menuntut dilakukannya durvey lapangan secar intensif sebelum survey. Disamping itu, jika tujuan survey lapangan kualitatif untuk memperjelas dan memperluas temuan survey, maka hal itu harus dilakukan setelah survey. Ketiga juga terkait dengan urutan waktu dan menyangkut tahap dalam proses penelitian saat kedua metode digunakan atau dihentikan. Misalnya, kedua metode dapat diakses ke dalam proyek pada tahap pembuatan desain, tetapi hanya satu metode yang diperhitungkan dalam penulisan laporan penelitian. Keempat yang menentukan pemakaian metode menyangkut pembagian keterampilan dalam tim penelitian.
Dari proses penggabungan tersebut, tergantung kepada individu peneliti dalam menggunakan dan melaksanakan penelitiannya, apakah lebih cenderung kepada penelitian kuantitif atau lebih cenderung kepada penelitian kualitatif dalam menganalisa data yang didapat dari hasil penelitiannya.
      Dari kedua penggabungan jenis penelitian tersebut, dapat diketahui bahwa kehadiran dan keberadaan dua paradigma yang berbeda mengesankan adanya sesuatu yang menjadi pedoman para peneliti, terutama bagi praktek-praktek mereka. Ini tidaklah mengherankan karena kumpulan teks-teks metodologi yang mengesankan keberadan dua paradigma tersebut. Bahwa terminology yang lebih tua usianya dan digunakan lebih luas dijumpai dalam literature yang menyebut strategi ini sebagai “triangulasi” yaitu:
1.Metode-metode ganda
      Dalam metode ganda atau tringulasi ini bisa terjadi antara metode atau bisa juga didalam metode. Pedekatan mencakup metode yang sama yang digunakan pada kesempatan yang berbeda, sementara metode berarti pemakaian metode yang berbeda dalam kaitan dengan obyek studi sama, masalah yang substantive, oleh karena itu dalam kasus terakhir observasi partisipatoris dalam lingkup ruang kelas bias digabungkan dengan survey kuesioner para siswa dan guru, pendekatan didalam metode dapat mencakup pengulangan metode yang sama pada jumlah kesempatau dan bias pula menghasilkan penilaian yang berbeda tentang situasi pada saat-saat yang berbeda.
2. Peneliti-peneliti gabungan
      Peneliti gabungan disni dimaksudkan bahwa personel yang melakukan tahapan penelitian ini dilakukan oleh kemitraan atau kelompok bukan oleh orang perorang, organisasi penelitian adalah bagian penting dari strategi penelitian individu-individu yang berbeda dan gabungan orang membawa perspektif yang berbeda kedalam penelitian. Sebagai missal menurut Stacey (1960) mengomentari studi pertamanya tentang Banbury, menunjukan bahwa tiga peneliti yang tergabung dalam tim peneliti mencerminkan tiga kelas social yang berbeda  kelas merupakan kunci utama studi Banbury kelas atas, kelas menengah dan kelas pekerja.
4. Sekumpulan data gabungan
      Dari beberapa sekumpulan data gabungan, kumpulan data yang berbeda disamping bisa diperoleh melalui penerapan metode-metode yang berbeda, juga melalui penggunaan metode yang sama pada waktu yang berbeda atau sumber-sumber yang berbeda. Data bisa dikumpulkan pada titik-titik waktu yang berbeda dan konteks situasi ataupun latar yang bervariasi, disamping itu data kadang-kadang terkait dengan tingkat-tingkat analisa social yang berbeda, tingkat individual, tingkat interaktif dan kolektif yang berbeda pul.
5. Teori- teori gabungan
      Peneliti dalam melaksanakan penelitiannya bisa menggunakan teori-teori gabungan, analisa data awal, bersama dengan wawasan-wawasan dari proses penelitian itu sendiri, bisa menghasilkan sejumlah kemungkinan teori dan hipotesis tentang masalah yang diteliti. Ini pada giliarnnya dapat diuji pada data, jika tidak pengujian penelitian sebelumnya dapat menuntun peneliti untuk menguji sejumlah hipotesis yang logis dan mungkin kontras dengan temuan-temuannya.
      Antara penelitian kualitatif dengan kuantitatif seakan-akan terdapat perbedaan paradigmatif yang tidak ada titik temu. Tapi sebenarnya antara kedua penelitian itu tidak terdapat perbedaan yang cukup jauh. Justru sebaliknya kini antara keduanya saling mendekat dan melengkapi satu sama lain. Tata pikir logika penelitian positivisme-kuantitatif yang meliputi tata pikir korelasi, sebab akibat, dan tata pikir timbal-balik atau interaktif, seperti nampak dalam model-model uji statistik inferensial, menurut Muhadjir, dapat ditempatkan dalam sebuah grand theory artau grand consept agar data empirik sensual dapat dimaknai dalam cakupannya yang lebih luas.
      Apa yang dimaksud dengan  grand theory, sesungguhnya tiada lain ialah teori-teori besar yang menjadi kunci analisis untuk memahami fenomena sosial, baik statika maupun dinamika sosial. Ini merupakan logika makro yang menjadi pijakan analisis. Penelitian kuantitatif hanya menggunakan logika mikro, seperti korelasi dan hubungan sebab akibat, sedangkan penelitian kualitatif seringkali tertarik pada logika makro. Karena itu, Muhadjir mengusulkan agar logika mikro kuantitatif ditempatkan dalam kerangka logika makro. Di antara logika makro itu ialah: Pertama, pola pikir historik atau proses perkembangan. Kedua, pola pikir yang terkait dengan sistematisasi pengetahuan, seperti pola pikir sistemik, fungsional, pragmatik dan pola pikir kontekstual. Ketiga, pola pikir yang mengarah dari kutub statika sosial seperti struktur sosial kepada dinamika sosial. Ketiga, pola pikir yang menggambarkan keterkaitan antara berbagai fenomena dengan asumsi bahwa suatu fenomena terkait dengan fenomena yang lain.        
      Penempatan tata pikir mikro yang bersifat korelasional dan eksperimental  dalam sebuah konteks grand theory, barangkali akan lebih jelas jika dirinci untuk masing-masing bentuk penelitian kuantitatif positivistik. Sudah diketahui umum bahwa bentuk penelitian kuantitatif terdiri dari penelitian deskriptif, korelasional dan eksperimen, walaupun dalam pengembangannya terjadi perbedaan pendapat. Masing-masing bentuk penelitian tersebut kita tempatkan dalam logika penelitian kualitatif.
      Berangkat dari hal tersebut di atas, dapat kita pahami bahwa di dalam penggabungan antara kedua metode itu membutuhkan kecermatan dan ketepatan seperti diperlukan pada setiap tahap proses penelitian, dari tahap pembuatan desain sampai penulisan, misalnya, karena desain penelitian kualitatif sering menggunakan strategi sampling non probilitas maka penting diperjelas pada tahapan pembuatan desain, mengapa dan kapan saatnya menggunakan sample-sampel probalitas dan konsekuensi jenis data yang dihasilkan dari keputusan tersebut, sehingga dapat menjaga terhadap kualitas dan validitas hasil penelitian.

KARAKTERISTIK DISAIN KUALITATIF

      Berkaiatan dengan karakteristik yang dimiliki oleh setiap penelitian, apakah itu penelitian kuantitaif ataupun kualitatif, dalam hal ini penelitian kualitatif memiliki sejumlah ciri-ciri yang membedakannya dengan penelitian jenis lainnya. Dari hasil penelaahan kepustakaan ditemukan bahwa Bogdan dan Biklen [25] mengajukan lima buah cirri yang membedakan antara penelitian kualitatif dengan penelitian kuantitaif. Sedangkan Lincoln dan Guba mengulas sepuluh buah ciri penelitian kualitatif. Uraian di bawah ini merupakan hasil pengkajian dan sintesis kedua versi tersebut. Adapun ciri-ciri dari desain penelitian kualitiatif[26] yaitu :

a. Latar alamiah

      Dalam latar alamiah ini, penelitian kualitatif melakukan penelitian pada latar alamiah atau pada konteks dari suatu keutuhan (entity) hal ini dilakukan, menurut Lincoln dan Guba (1985 : 39), karena ontologi alamiah menghendaki adanya kenyataan-kenyataan sebagi keutuhan yang tidak dapat dipahami jika dipsahkan dari konteksnya. Menurut mereka hal tersebut didasarkan atas beberapa asumsi bahwa: (1) tindakan pengamatan mempengaruhi apa yang dilihat, karena itu hubungan penelitian harus mengambil tempat pada keutuhan- dalam – konteks untuk keperluan pemahaman; (2) konteks sangat menentukan dalam menetapkan apakah suatu penemuan mempunyai arti bagi konteks lainnya, yang berarti bahwa suatu fenomena harus diteliti dalam keseluruhan pengaruh lapangan; (3) sebagian struktur nilai kontekstual bersifat determinatif terhadap apa yang akan di cari dlaam proses penelitiannya.
      Dari beberapa uraian tersebut di atas, akan dapat membawa peneliti untuk memasuki dan melibatkan sebagian waktunya apakah di sekolah, keluarga, tetangga, dam lokasi lainnya untuk meneliti masalah pendidikan ayau sosiologi. Peneliti yang mengadakan penelitian terhadap mahasiswa kedokteran, misalnya mengikuti mawasiswa sebagai subyek penelitiannya kedalam ruang kuliah, laboratorium, rumah sakit, dan tempat-tempat yang biasanya di gunakan oleh mereka untuk berkumpul seperti kafetaria, asrama, tempat-tempat pertemuan dan sebagainya.
b. Manusia sebagai alat (instrument)
      Pada pelaksanaan penelitian kualitatif, peneliti sendiri atau dengan bantuan orang lain merupakan alat pengumpul data utama. Hal ini dilakukan karena, jika memanfaatkan alat yang bukan manusia dan mempersiapkan terlebih dahulu sebagai yang lazim digunakan dalam penelitian klasik, maka sangat tidak mungkin untuk mengadakan penyesuaikan terhadap kenyataan-kenyatan dilapangan. Selain itu, hanya “manusia sebagi alat” sajalah yang dapat berhubungan dengan responden atau obyek lainnya, dan hanya manusia sebagai alat sajalah yang dapat berhubungan dengan rfesponden atau obyek lainnya dan hany manusialah yang mampu memahami kenyataan-kenyataan di lapangan.   Oleh karena itu pada waktu mengumpulkan data dilapangan, peneliti berperan serta dalam  kegiatan kemasyarakatan. Penulis menamakan cara pengumpulan data demikian “ pengamtan berperan serta atau participant-observation.
c. Metode Kualitatif
      Dalam pelaksanaan penelitian, penelitian kualitataif menggunakan metode kualitatif dalam analisa datanya. Metode kualitatif ini digunakan karena beberapa pertimbangan. Petama, menyesuaikan metode kualitatif apabila berhadapan dengan kenyataan ganda; kedua, metode ini menyajikan secaralangsung hakekat hubungan antara peneliti dengan responden; dan ketiga, metode ini lebih peka dan lebih dapat menyesuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh bersama dan terhadap pola nilai-nilai yang dihadapi oleh peneliti.
d. Analisis data secara Induktif
      Dalam proses pelaksanaan analisis data yang diperoleh oleh peneliti, maka analisis yang harus digunakan oleh peneliti adalah analisis data secara induktif. Analisis data induktif ini digunakan karena beberapa alasan, pertama, proses induktif lebih dapat menemukan kenyataan-kenyataan ganda sebagai yang terdapat dalam data. Kedua, analisis induktif lebih dapat membuat hubungan peneliti – responden menjadi eksplisit, dapat dikenal,  dan accountable. Ketiga, analisis demikian lebih dapat menguraikan latar secara penuh dan dapat menbuat keputusan-keputusan tentang dapt-tidaknya pengalihan kepada suatu latar lainnya. Keempat, analisis induktif lebih dapat menemukan pengaruh bersama yang mempertajam hubungan-hubungan. Kelima, analisis demikian dapat memperhitungan nilai-nilai secara eksplisit sebagai bagian dari struktur analitik.
e. Teori dari dasar (Grounded theory)
Pada pelaksanaan penelitian kualitiatif, biasanya yang sering dilakukan oleh para peneliti pada bidang penelitian kualitatif lebih menghendaki arah bimbingan penyusunan teori subsantantif yang bersal dari data. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal :
  1. Tidak ada teori apriori yang dapat mencakupi kenyataan-kenyataan ganda yang mungkin akan dihadapi
  2. Penelitian ini mempercayai apa yang dilihat sehingga ia berusaha untuk sejauh mungkin menjadi netral
  3. Teori-teori dari dasar lebih dapat responsif terhadap nilai-nilai kontekstual.
Setelah melaksanakan penelitian dengan menggunakan analisis induktif, berarti bahwa pencarian data bukan dimaksudkan untuk membuktikan hipotesis yang telah dirumuskan sebelum penelitian diadakan. Analisis ini lebih merupakan pembentukan abstraksi berdsarkan bagian-bagian yang telah dikumpulkan, kemudian dikelompok-kelompokan. Jadi, penyusunan teori di sini berasal dari bawah ke atas, yaitu dari sejumlah bagian yang banyak data yang dikumpulkan dan yang saling berhubungan. Jika peneliti merencanakan untuk menyusun teori arah penyusunan teori tersebut akan menjadi jelas sesudah ada data dikumpulkan. Jadi peneliti dalam hal ini menyusun atau membuat gambaran yang makin menjadi jelas sementara data dikumpulkan dan bagian-bagiannya diuji.
f. Deskriptif
Data diskriptif adalah data yang tidak nampak. Data ini biasanya dikumpulkan dan dioleh dengan berupa kata-kata, gambar dan bukan angka-angka. Hal ini disebabkan oleh adanya penerapan metode kualitatif. Selain itu semua yang dikumpulkan berkemungkinan menjadi kunci terhadap apa yang sudah diteliti oleh peneliti yang berkaitan dengan obyek dan tujuan penelitiannya. Dengan demikian, laporan penelitian akan berisi kutipan-kutipan data untuk memberi gambaran penyajian laporan tersebut.
Data tersebut mungkin berasal dari naskah wawancara, catatan lapangan, foto, vidio tipe, dokumen pribadi, catatan atau memo, dan dokumen resmi lainnya. Pada penulisan laporan demikian, peneliti menganalisis data yang sangat kaya tersebut dan sejauh mungkin dalam bentuk aslinya. Hal itu hendaknya dilakukan seperti orang merajut sehingga setiap bagian ditelaah satu demi satu. Pertanyaan dengan kata tanya “menngapa”, alasan apa, dan bagaimana terjadinya akan senantiasa dimanfaatkan peneliti. Dengan demikian peneliti tidak akan memandang bahwa sesuatu itu sudah memang demikian keadaannya.
g. Lebih mementingkan proses dari pada hasil
Berkaitan dengan penelitian karakteristik pada penelitian kualitatif, dapat diketahui bahwa dalam pelaksanaan penelitian kualitatif lebih banyak mementingkan aspek “proses” dari pada hasil. Hal ini disebabkan oleh hubungan bagian-bagian yang sedang diteliti akan jauh lebih jelas apabila diamati dalam proses. Bogdan dan Biklen[27] memberikan contoh seorang peneliti yang menelaah sikap gurub terhadap jenis siswa tertentu. Peneliti mengamatinya dalam hubungan sehari-hari, kemudian menjelaskan tentang sikap yang diteliti.
h. Adanya batas yang ditentukan fokus
Pada karaketristik penelitian kualitatif ditetapkannya mengenai batasan-batasan dalam penelitiannya atas dasar fokus yang timbul sebagai masalah dalam penelitian. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa hal:
  1. Batas menentukan kenyataan ganda yang kemudian mempertajam fokus.
  2. penetapan fokus dapat lebih dekat dihubungkan oleh interaksi antara peneliti dan fokus.
   Dengan kata lain, bagaimanpun penetapan fokus sebagai masalah penelitian penting artinya dalam usaha menemukan batas penelitian. Dengan hal itu dapatlah peneliti menemukan lokasi penelitian yang memudahkan seorang peneliti dalam melakukan tugas penelitiannya.
i. Adanya kriteria khusus untuk keabsahan data
Apapun jenis penelitiannya, pasti akan dibutuhkan beberapa criteria yang berkaitan dengan jenis penelitian yang dilakukan oleh peneliti. Penelitian kualitatif meredefisikasikan validitas, reliabilitas, dan obyektifitas dalam versi lain dibandingkan dengan lazin digunakan dalam penelitian klasik. Menurut Lincoln dan Guba[28] hal itu disebabkan oleh validitas internal cara lama telah gagal karena hal itu menggunakan isomorfisme antara hasil penelitian dan kenyataan tunggal di mana penelitian dapat dikofergensikan. Kedua, validitas eksternal gagal karena tidak taat asas dengan aksioma dasar dari generalisasinya; ketiga, kreteria realibilitas gagal karena mempersyaratkan stabilitas dan keterlaksanaan secara mutlak dan keduanya tidak mungkin digunakan dalam paradigma yang didasarkan atas dasar desain yang dapat berubah-rubah; keempat, kreteria obyektifitas gagal karena penelitian kualitatif justru memberi kesempatan interaksi antara peneliti-responden dan peranan nilai dalam prose penelitiannya.
j. Desain yang bersifat sementara
Konsep dalam penelitian kualitatif ini menyusun desain yang secara terus menerus disesuaikan dengan kenyataan lapangan. Jadi, tidak menggunakan desain yang telah disusun secara ketat dan kaku sehingga tidak dapat diubah lagi. Hal itu disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, tidak dapat dibayangkan sebelumnya tentang kenyataan-kenyataan ganda di lapangan; kedua, tidak dapat diramalkan sebelumnya apa yang akan berubah karena hal itu akan terjadi dalam interaksi antara peneliti dengan kenyataan; ketiga, bermacam sisitem nilai yang terkait berhubungan dengan cara yang tidak dapat diramalkan dalam waktu yang relative singkat.
k. Hasil penelitian dirundingkan dan disepakati bersama
Karakteristik desain penelitian kualitatif lebih menghendaki agar pengertian dan hasil interpretasi yang diperoleh dirundingkan dan disepakati oleh manusia yang dijadikan sebagai sumber data. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, susunan kenyataan dari merekalah yang akan diangkat oleh peneliti; kedua, hasil penelitian bergantung pada hakikat dan kualitas hubungan antara pencari dan yang dicari; ketiga, konfirmasi hipotesis kerja akan menjadi lebih baik verivikasinya apabila diketahui dan dikonformasikan oleh orang-orang yang ada kaitannya dengan yang diteliti oleh peneliti pada bidang garapannya.

TAHAPAN RISET KUALITATIF

Dalam tahapan riset penelitian kualitatif, sekalipun prosesnya dilakukan secara induktif, tidak berarti peneliti tanpa memiliki perspektif. Ia dapat memilih permasalahan penelitian, pendekatan sebagai perspektif dalam memahami gejala sosial keagamaan karena memahami berbagai teori; atau setidaknya ia membaca hasil-hasil penelitian yang memiliki kedekatan dengan penelitian yang dilakukan.
Penelitian harus dilakukan melalui beberapa tahapan. Salah satu tahapan penting, menurut Moleong ialah menyusun rancanan penelitian. Isi rancangan penelitian sebenarnya tidak ada yang baku. Akan tetapi secara umum rancangan tersebut berisi: (1) latar belakang masalah, (2) tinjauan pustaka, (3) pemilihan lapangan penelitian (jika akan penelitian lapangan, (4) penentuan jadual penelitian, (5) rancangan pengumpulan data, dan (6) rancangan prosedur analisis data. Studi kepustakaan diharapkan akan menghasilkan : (a) rumusan masalah dan fokus penelitian, (b) pertanyaan-pertanyaan penelitian, dan (c) signifikasi penelitian.
Usaha mempelajari penelitian kualitatif tidak terlepas dari usaha mengenal tahap-tahap penelitian. Tahap-tahap penelitian kualitatif dengan salah satu ciri pokoknya peneliti menjadi sebagai alat penelitian, menjadi berbeda dengan tahap-tahap penelitian nonkualititif. Khususnya analisa data cirri khasnya sudah dimulai sejak awal pengumpulan data. Hal itu sangat membedakannya dengan pendekatan yang menggunakan eksperimen.
Menurut Bogdan dalam Lexy J Moleong (2003 : 85) bahwa terdapat tiga tahapan dalam riset kualitatif yakni : (1) pra lapangan, (2) kegiatan lapangan (3) analisis intensif. Sedangkan menurut Kirk dan Miller (1986) menyatakan adanya empat tahapan, yaitu : (1) invensi (2) temuan, (3) penafsiran, (4) eksplanasi; Lofland (1984) mengajukan 11 tahap, yaitu :  (1).Mulai dari tempat anda berada, (2).Menilai latar penelitian, (3).Masuk lapangan, (4).Bersama lapangan, (5).Mencatat dengan hati-hati (loging data), (6).Memikirkan satuan, (7).Mangajukan pertanyaan, (8).Menjadi tertarik, (9).Mengembangkan analisis, (10).Menulis laporan dan, (11).Membimbng akibat.
Sedangkan menurut Janice dalam Norman dan Yvonna (1994 : 220-232)  terdapat enam tahap dalam menyusun rancangan riset kualitatif yakni :
  1. The stage of reflection
  2. The stage of planning
  3. The stage of entry
  4. The stage of productive data collection
  5. The stage of withdrawal
  6. The stage of writing
Dalam tema ini, penulis hanya membatasi pembahsan scara singkat pada tahapan riset yang dikemukakan oleh Bogdan dengan disentesiskan dengan uraian dari sumber lain.
A. Tahap pra lapangan.
Dalam tahap pra lapangan ini, terdapat enam kegiatan yang harus dilakukan oleh peneliti dan dalam tahapan ini pula ditambah dengan satu pertimbangan yang perlu dipahami, yaitu etika penelitian lapangan[29]. Kegiatan dan pertimbangan tersebut diuraikan berikut ini.
  1. Menyusun Rancangan Penelitian
Dalam proses penyusunan rancangan suatu penelitian kualitatif biasanya dinamakan dengan usulan penelitian, paling tidak berisi (1) latar belakang masalah dan alasan pelaksanaan penelitian (2) kajian kepustakaan yang menghasilkan (3) pemilihan lapangan penelitian (4) penentuan jadwal penelitian (5) pemilihan alat penelitian (6) rancangan pengumpulan data (7) rancangan prosedur analisi data (8) rancangan perlengkapan (9) rancangan pengecekan kebenaran data.
  1. Memilih lapangan penelitian.
Untuk memilih lapanan penelitian, cara terbaik yang perlu diperhatikan dalam penentuan lapangan penelitian ialah dengan jalan mempertimbangkan teori substantif; pergilah dan jajakilah lapangan untuk melihat apakah terdapat kesesuaian dengan kenyataan yang berada di lapangan. Keterbatasan geografis dan praktis seperti waktu, biaya, tenaga, perlu pula dijadikan pertimbangan dalam menentukan lokasi penelitian.
  1. Mengurus perizinan.
Mengurus perizinan sangat diperlukan sekali dalam upaya melaksanakan penelitian. Dalam mengurus perizinan ini harus mencantumkan tujuan dan manfaat dari penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti. Dengan kata lain peneliti mencantumkan keinginannya untuk mengadakan penelitian. Izin penelitian ini diperlukan dalam rangka untuk kepentingan kelancaran penelitian yang akan dilakukan, biasanya izin ini akan dikeluarkan oleh instansi terkait atau badan yang memiliki kewenangan atas hal tersebut bahkan izin itu dimintakan di lokasi dimana akan penelitian itu dilakukan. Karena itu peneliti juga perlu mengetahui siap yang paling berhak mengeluarkan izin tersebut.
Syarat lainnya yang perlu dimiliki oleh peneliti adalah terbuka, jujur bersahabat, simpatik dan empatik, objektif dalam menghadapi konflik , tidak pandang bulu, berlaku adil dan sikap positif lainnya.
  1. Menjajaki dan menilai keadaan lapangan.
Hal ini dimaksudkan agar supaya peneliti tidak bertindak ceroboh dan sesuka hati. Penjajakan dan penilaian lapangan akan terlaksana dengan baik apabila peneliti sudah membaca terlebih dahulu dari kepustakaan atau mengetahui melalui orang dalam hal situasi dan kondisi daerah tempat penelitian dilakukan. Maksuda dan tujuan penjajakan dan penilaian lapangan adalah berusaha mengenal segala unsure lingkungan sosial, fisk dan keadaan alam lainnya. Jika penelitia telah mengenalnya, maksud dan tujuan lanyya ialah untuk membuat peneliti mempersiapkan diri, mental maupun fisik, serta menyiapkan perlengkapan yang diperlukan.
  1. Memilih dan memanfaatkan informan.
Memilih dan memanfaatkan informan yang ada sangat berguna sekali dalam membantu proses penelitian yang dilakukan oleh peneliti. Kegunaan informan bagi peneliti adalah membantu agar secepatnya dan tetap setelti mungkin dapat membenamkan diri  dalam konteks setempat terutama bagi peneliti yang belum mengalami latihan etnografi. Selain itu pemanfaatan informan agar dalam waktu yang relatif singkat dapat diketahui informasi yang banyak.
Upaya untuk menemukan informan yang baik dan dapat dipertanggung jawabkan dapat dilakukan dengan cara, melalui keterangan orang yang berwewenang, melalui wawancara pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti. Dalam hal tertentu, informan perlu direkrut seperlunya dan diberi tahu tentnag maksud tujuan penelitian jika mungkn dilakukan.
  1. Menyiapkan perlengkapan penelitian.
Penyiapan perlengkapan penelitian harus dilakukan sesegera mungkin, dengan harapan agar supaya kebutuhan dari peneliti dapat terpenuhi secara keseluruhan. Peneliti hendaknya menyiapkan tidak hanya perlengkapan fisik, tetapi segala macam perlengkapan penelitian yang diperlukan. Yang penting ialah peneliti sejauh mungkin sudah menyiapkan segala alat dan perlengkapan penelitian yang diperlukan sebelum ia terjun ke dalam kancah penelitian.
  1. Persoalan etika penelitian.
Etika merupakan hal yang paling esensial dalam penelitian, karena baik buruknya hasil penelitian ditentukan oleh factor ini. Salah satau ciri utama dari penelitian adalah orang sebagai alat mengumpulkan data. Hal itu dilakukan dalam pengamatan berperanserta, wawancara-mendalam, pengumpulan dokumen, foto, dan sebagainya. Seluruh metode itu pada dasarnya menyangkut hubungan peneliti dengan orang atau subjek penelitian.  Karena itu, penting kiranya bagi setiap peneliti untuk memahami kondisi sosio cultural tempat dimana penelitian itu dilakukan sehingga sikap etik harus menyertai peneliti yang disesuaikan dengan kondisi tersebut.
B. Tahap pekerjaan lapangan.
  1. Memahami latar penelitian dan persiapan diri.
Pemahaman teradap latar penelitian diperlukan untuk memasuki pekerjaan di lapangan, peneliti perlu memahami latar penelitian terlebih dahulu. Disampng itu ia perlu mempersiapkan dirinya baik secara fisik maupun mental disamping ia harus mengingat persoalan etika sebagai yang telah diuraikan sebelumnya. Peneliti hendaknya mengenal adanya latar terbuka dan latar tertutup. Disamping itu, peneliti hendaknya tahu menempatkan diri, apakah ia sebagai peneliti yang dikenal atau tidak.
  1. Memasuki lapangan.
Ketika seorang peneliti telah memasuki lapangan, maka hendaknya peneliti membina hubungan berupa rapport, dalam arti hubungan antara peneliti dan subjek yang diteliti melebur menjadi satu sehingga seolah-olah tidak ada lagi dinding pemisah di antara keduanya. Dengan demikian subjek dengan sukarela dapat menjawab pertanyaan atau memberikan informasi yang diperlukan oleh peneliti.
C. Tahap analisa data.
Tahapan akhir dari prosedur penelitian ini adalah analisa data. Analisa data menurut Patton adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya dalam suatu pola, kategori, dan satuan uraian dasar. Analisis data bermaksud pertama-tama mengorganisasikan data. Data yang terkumpul banyak sekali dan terdiri dari catatan lapangan dan komentar peneliti, gambar, foto, dokumen berupa laporan, biografi, artikel. Analisa dalam hal ini mengatur urutan data, memberikan kode dan mengkategorikannya. Nalisa ini bertujuan menemukan tema dan hipotesis kerja yang akhirnya diangkat menjadi teori substantif.
Dari sini dapat ditarik suatu benang merah bahwa analisa data itu dilakukan  dalam suatu proses. Proses berarti pelaksanaannya sudah mulai dilakukan sejak pengumpulan data dilakukan dan dikerjakan secara intensif, yaitu sesudah meninggalkan lapangan. Dalam hal ini dianjurkan agar analisa data dan penafsirannya secepat mungkin dilakukan oleh penulis, jangan sampai menjadi kadaluwarsa, karena dikhawatirkan data-data yang ada akan hilang atau berantakan, sehingga sangat memungkinkan kualitas data penelitiannya akan menjadi berkurang dan bahkan tidak sesuai dengan target atau tujuan dari penelitian yang dilakukan semula.










DAFTAR PUSTAKA

Bertran Russel, 1974, History of Western Philosophy, London, George Allen dan Unwin.
___________, 1982, Partisipant Opservation in Organizational Setting, Syracuse, N.Y,; Syracuse Universiti Press.
___________. dan Sari Knopp Biklen, 1982, Qualitative Research of Education: An introductions to Theory and Methods, Boston: Allyn and Bacon, Inc.
Burhanuddin Salam, 1997, Logika Materil : Filsafat Ilmu Pengetahuan, Rineka Cipta, Jakarta.
_______________, 1988, Logika Formal (Filsafat Berpikir), Bina Aksara, Jakarta.
I.R. Poedjawijatna, 1986, Logika : Filsafat Berpikir, Bina Aksara, Jakarta.
Julia Brannen, 1996, Memadu Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif, Pustaka Pelajar Offset Yogyakarta.
___________, 1997, Memadu Metode Penelitan Kualitatif dan Kuantitatif, Fakultas Tarbiyah IAIN  Antasari Samarinda. Pustaka Pelajar.
Sudarto, 1997,  Metodologi Penelitian Filsafat, PT  Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Lexy J. Moleong, 2002, Metodologi Penelitian Kualitatif, PT Remaja Rosdakarya, Bandung.
Lincoln, Yvonna Sebagai, dan Egon G. Guba, 1985, Naturalistic Inquiry Beverly Hills : Sage Publications.
M. Kasiram, 2003, Strategi Penelitian Tesis Program Magister By Research, PPS UIIS Malang.
Sudarto, 1997, Metodologi Penelitian Filsafat, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Suharsimi Arikunto, 2000, Manajemen Penelitian. Rineka Cipta.
Sumartoyo Harjosatoto dan Endang Daruni Asydi, Pengantar Logika Moder, jilid I, Yogyakarta, Karya Kencana, 1979.
The Liang Gie, 2000, Pengantar Filasafat Ilmu. Liberty, Yogyakarta.
Tim Dosen Filsafat Ilmu, 2001, Fakultas filsafat UGM. Filsafat ILmu. Liberty. Yogyakarta.




[1] Tim Dosen Filsafat Ilmu, 2001, Fakultas filsafat UGM. Filsafat ILmu. Liberty. Yogyakarta, hal: 14
[2] The Liang Gie, 2000, Pengantar Filasafat Ilmu. Liberty, Yogyakarta, hal: 61
[3] Ibid, hal: 57
[4] Burhanuddin Salam, 1988, Logika Formal (Filsafat Berpikir), Bina Aksara, Jakarta, hal : 02.
[5] I.R. Poedjawijatna, 1986, Logika : Filsafat Berpikir, Bina Aksara, Jakarta, hal : 15.
[6] Sumartoyo Harjosatoto dan Endang Daruni Asydi, Pengantar Logika Moder, jilid I, Yogyakarta, Karya Kencana, 1979, h. 16-23
[7] Burhanuddin Salam, Op Cit, hal : 01.
[8] Bertran Russel, 1974, History of Western Philosophy, London, George Allen dan Unwin, hal : 206.
[9] Burhanuddin Salam, 1997, Logika Material Filsafat Ilmu Pengetahuan, Rineka Cipta, Jakarta, hal : 97.
[10] ibid, hal : 62.
[11]  ibid, hal : 65.
[12] Sudarto, 1997, Metodologi Penelitian Filsafat, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal : 76
[13] Ibid, hal : 66.
[14] Suharsimi Arikunto, 2000, Manajemen Penelitian. Rineka Cipta, hal : 351.
[15] Julia Brannen, 1997, Memadu Metode Penelitan Kualitatif dan Kuantitatif, Fakultas Tarbiyah IAIN  Antasari Samarinda. Pustaka Pelajar, hal : 13.
[16] Sudarto, 1997,  Metodologi Penelitian Filsafat, PT  Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal : 62.
[17] Ibid, hal : 62.
[18] Burhanuddin Salam, 1997, Logika Materil : Filsafat Ilmu Pengetahuan, Rineka Cipta, Jakarta, hal : 192.
[19] Ibid, hal : 205.
[20] M. Kasiram, 2003, Strategi Penelitian Tesis Program Magister By Research, PPS UIIS Malang, hal : 60.
[21] Ibid, 59.
[22] Ibid, hal : 66.
[23] Ibid, hal : 60-61.
[24] Julia Brannen, 1996, Memadu Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif, Pustaka Pelajar Offset Yogyakarta, hal : 12.
[25] Bogdon, Robert C, 1982, Partisipant Opservation in Organizational Setting, Syracuse, N.Y,; Syracuse Universiti Press, hal : 27.
[26] Lexy J. Moleong, 2002, Metodologi Penelitian Kualitatif, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, hal : 4-8
[27] Bogdan, Robert C. dan Sari Knopp Biklen, 1982, Qualitative Research of Education: An introductions to Theory and Methods, Boston: Allyn and Bacon, Inc, h. 29
[28] Lincoln, Yvonna Sebagai, dan Egon G. Guba, 1985, Naturalistic Inquiry Beverly Hills : Sage Publications, hal : 43.
[29] Lexy Moleong, Op Cit,  hal : 85.

Ditulis Oleh : Unknown ~ Amierul El Neymar JR

Amier El Neymar JR Sobat sedang membaca artikel tentang Hubungan Antara Filsafat Ilmu Dengan Logika . Dan terimakasih atas kunjungan sobat. Oleh Admin : Sobat diperbolehkan mengcopy paste atau menyebar-luaskan artikel ini, namun jangan lupa untuk meletakkan link dibawah ini sebagai sumbernya

:: Get this widget ! ::

Tidak ada komentar:

lihat lebih banyak animasi klub bergerak
lihat lebih banyak animasi klub bergerak