HUBUNGAN FILSAFAT ILMU
DENGAN LOGIKA
Secara terminology, filsafat ilmu[1]
adalah refleksi filsafati yang tidak pernah mengenal titik henti dalam
menjelajahi kawasan ilmiah untuk mencapai kebenaran atau kenyataan, sesuatu
yang memang tidak pernah habis difikirkan dan tidak pernah akan selesai
diterangkan. Dengan kata lain filsafat ilmu adalah refleksi yang mengakar
tentang prinsip-prinsip ilmu atau hakikat ilmu. Prinsip ilmu adalah sebaba
funcamental dan kebenaran universal yang lengket di dalam ilmu, yang pada
akhirnya memberikan jawaban tentang keberadaan ilmu.
Sedangkan menurut the Liang Gie[2],
filsafat ilmu adalah segenap pemikiran reflektif terhadap persoalan-persoalan
mengenai segala hal yang menyangkut landasan ilmu maupun hubungan ilmu dengan
segala segi dari kehidupan manusia.
Filsafat ilmu itu mempertanyakan dan menilai
metode-metode pemikiran ilmiah serta mencoba menetapkan nilai dan pentingnya
usaha ilmiah sebagai suatu keseluruhan[3].
Dengan demikian filsafat ilmu merupakan cabang dari ilmu filsafat yang mengkaji
dasar dan hakekat ilmu untuk mencapai kebenaran dan kenyataan yang tidak akan
habis difikirkan dan tidak selesai diterangkan.
Filsafat ilmu memberikan kerangka dasar dalam berolah
ilmu agar proses dan produk keilmuan yang dihasilkan tidak bertentangan dengan
kaidah-kaidah moral, etika dan kesusilaan.
Logika berasal dari bahasa Yunani, dari
kata sifat "logike" yang berhubungan dengan kata benda
"logos" yang berarti 'perkataan' atau 'kata' sebagai manifestasi dari
ikiran manusia. Dengan demikian terdapatlah suatu jalinan yang kuat antara
pikiran dan kata yang dimanifestasikan dalam bahasa. Secara etimologis dapatlah
diartikan bahwa logika itu adalah ilmu yang mempelajari pikiran yang dinyatakan
dalam bahasa.
Logika adalah ilmu yang merumuskan tentang
hukum-hukum, asas-asas, aturan-aturan atau kaidah-kaidah tentang berpikir yang
harus ditaati supaya kita dapat berpikir tepat dan mencapai kebenaran. Atau
dapat pula didefinisikan sebagai suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari
aktivitas akal atau rasio manusia dipandang dari segi benar atau salah[4].
Dari sini dapat diketahui bahwa tugas logika adalah memberikan penerangan
bagaimana orang seharusnya berpikir, dan obyek forma logika adalah mencari
jawaban tentang bagaimana manusia dapat berpikir dengan semestinya[5].
Dari definisi tersebut di atas, maka dapat diketahui
bahwa, dilihat dari metodenya dapat dibedakan atas logika tradisional dan
logika modern[6].
Logika tradisional adalah logika Aristiteles, dan logika dari logika logikus
yang lebih kemudian, tetapi masih mengikuti sistem logika Aristoteles. Para logikus sesudah Aristoteles tidak membuat perubahan
atau mencipta sistem baru dalam logika kecuali hanya membuat komentar yang
menjadikan logika Aristoteles lebih elegant dengan sekedar mengadakan perbaikan-perbaikan
dan membuang hal-hal yang tidak penting dari logika Aristoteles. Logika modern
tumbuh dan dimulai pada abad VIII. Mulai abad ini ditemukan sistem baru, metode
baru yang berlain dengan sistem logika Aristoteles.
Apabila logika tersebut dilihat dari
obyeknya akan dikenal sebagai logika formal dan logika material. Pemikiran yang
benar dapat dibedakan menjadi dua bentuk yang berbeda, yakni cara berfikir dari
umum ke khusus dan cara berfikir dari khusus ke umum. Cara pertama disebut
berfikir deduktif dipergunakan dalam logika formal yang mempelajari dasar-dasar
persesuaian (tidk adanya pertetangan) dalam pemikiran dengan mempergunakan
hukum-hukum, rumus-rumus, patokan-patokan berfikir benar. Cara berfikir
induktif dipergunakan dalam logika material, yang mempelajari dasar-dasar
persesuaian pikiran dengan kenyataan. Ia menilai hasil pekerjaan logika formal
dan menguji benar tidaknya dengan kenyataan empiris. Cabang logika formal
disebut juga logika minor, logika materia disebut logika mayor. Hal inilah yang
merupakan inti daripada logika
Proses berfikir yang ada pada diri manusia adalah
berdialog dengan diri sendiri dalam batin dengan manifestasinya adalah
mempertimbangkan merenungkan, menganalisis, menunjukan alasan-alasan,
membuktikan sesuatu, menggolong-golongkan, membanding-bandingkan, menarik
kesimpulan, meneliti sesuatu jalan fikiran, mencari kausalitasnya, membahas
secara realitas dan sebagainya[7].
Dengan berpikir, merupakan suatu bentuk kegiatan akal
atau rasio manusia dengan mana pengetahuan yang kita terima melalui panca
indera diolah dan ditujuaan untuk mencapai suatu kebenaran.
Aktivitas berpikir adalah berdialog dengan
diri sendiri dalam batin dengan manifestasinya yaitu mempertimbangkan,
merenungkan, menganalisis, manunjukkan alasan-alasan, membuktikan sesuatu,
menggolang-golongkan, membanding-bandingkan, menarik kesimpulan, meneliti suatu
jalam pikiran, mecari kausalitasnya, mebahas secara realitas dan lain-lain.
Di dalam aktivitas berpikir itulah ditunjukkan dalam
logika wawasan berpikir yang tepat atau ketepatan pemikrian/kebenaran berpikir
yang sesuai dengan penggarisan logika yang disebut berpikir logis.
Agar supaya pemikiran dan penalaran kita dapat berdaya
guna dengan membuahkan kesimpulan-kesimpulan yang benar, valid dan sahih, ada 3
syarat pokok yang harus dipenuhi : 1) pemikiran haruslah berpangkal pada
kenyataan atau kebenaran, 2) alasan-alasan yang dikemukakan haruslah tepat dan
kuat, 3) jalan pikiran haruslah logis.
Berkaitan dengan hal tersebut, logika dapat
disistematisasikan menjadi beberapa golongan tergantung dari mana kita
meninjuanya. Dilihat dari segi kualitasnya, logika dapat dibedakan menjadi
logika naturalis, yaitu kecakapan berlogika berdasarkan kemampuan akan bawaan
manusia. Akal manusia yang normal dapat bekerja secara spontan sesuai dengan
hukum-hukum logika dasar. Bagaimanapun rendahnya intelegensi seseorang ia dapat
membedakan bahwa sesuatu itu adalah berbeda dengan sesuatu yang lain, dan bahwa
dua kenyataan yang bertetangan tidaklah sama.
Kemampuan berlogika naturalis pada tiap-tiap orang
berbeda-beda tergantung dari tingkatan pengetahuannnya. Kita dapati para ahli
pidato politikus dan mereka yang terbiasa bertukar pikiran dapat mengutarakan
jalan pikiran dengan logis, meskipun barangkali mereka belum pernah membuka
buku logika sekalipun. Tetapi dalam menghadapi yang rumit dan dalam berfikir
manusia banyak dipengaruhi oleh kecenderungan pribadi, disamping bahwa
pengetahuan manusia terbatas mengakibatkan tidak mungkin terhindar dari
kesalahan. Untuk mengatasi kenytaan yang tidak dapat ditanggulangi oleh logika
naturalis, manusia menyususn hukum-hukum, patokan-patokan, rumus-rumus berfikir
lurus. Logika ini disebut logika artifisialis atau logika ilmia yang bertugas
membantu logika naturalis. Logika ini memperluas, mempertajam serta menunjukkan
jalan pemikiran agar akal dapat bekerja lebih teliti, efisien, mudah dan aman
sehingga tercapai tujuan dari apa yang diinginkan.
Dari hal tersebut di atas, dapat diketahui bahwa
logika adalah salah satu cabang atau bagian dari filsafat ilmu yang mempelajari
tentang aktivitas akal atau rasio manusia dipandang dari segi benar atau salah.
Atau dengan kata lain, filsafat ilmu sebagai penopang dalam kerangka
menggunakan rasio guna berpikir agar suapaya tidak bertentangan dengan
kaidah-kaidah etika, moral dan kesusialaan. Dengan kata lain hubungan filsafat
ilmu dengan logika adalah filsafat ilmu sebagai tolak ukur atau alat penilaian
dari proses menggunakan rasio.
MODEL LOGIKA
Secara histories, istilah logika pertama kali digunakan
oleh Zeno dari Citium[8],
Kaum sofis Skortes dan Plato harus dicatat sebagai perintis lahirnya logika.
Logika lahir sebagai ilmu atas jasa Aristoteles, Theoprotus dan kaum Stoa.
Dalam perjalanannya, istilah logika dapat
disistematisasikan menjadi beberapa golongan tergantung dari mana kita
meninjuanya. Dilihat dari segi kualitasnya, logika dapat dibedakan menjadi
logika naturalis, yaitu kecakapan berlogika berdasarkan kemampuan akan bawaan
manusia. Akal manusia yang normal dapat bekerja secara spontan sesuai dengan
hukum-hukum logika dasar. Bagaimanapun rendahnya intelegensi seseorang ia dapat
membedakan bahwa sesuatu itu adalah berbeda dengan sesuatu yang lain, dan bahwa
dua kenyataan yang bertetangan tidaklah sama.
Sedangkan apabila dilihat dari metodenya
dapat dibedakan atas logika tradisional dan logika modern. Logika tradisional
adalah logika Aristiteles, dan logika dari logika logikus yang lebih kemudian,
tetapi masih mengikuti sistem logika Aristoteles. Para
logikus sesudah Aristoteles tidak membuat perubahan atau mencipta sistem baru
dalam logika kecuali hanya membuat komentar yang menjadikan logika Aristoteles
lebih elegant dengan sekedar mengadaka perbaikan-perbaikan dan membuang hal-hal
yang tidak penting dari logika Aristoteles
Jika dilihat dari obyeknya dikenal sebagai
logika formal dan logika material. Pemikiran yang benar dapat dibedakan menjadi
dua bentuk yang berbeda, yakni cara berfikir dari umum ke khusus dan cara
berfikir dari khusus ke umum. Cara pertama disebut berfikir deduktif dipergunakan
dalam logika formal yang mempelajari dasar-dasar persesuaian (tidak adanya
pertetangan) dalam pemikiran dengan mempergunakan hukum-hukum, rumus-rumus,
patokan-patokan berfikir benar.
Logika formil Aristoteles, yang dikenal dengan nama
"syllogisme". Syllogisme adalah suatu bentuk penarikan kesimpulan
atau konklusi secara deduktif dan tidak langusng yang kesimpulan atau
konklusinya ditarik dari dua buah premis yang disediakan sekaligus. Yang
penting kita ketahui dari syllogisme dan bentuk-bentuk inferensi atau penalaran
deduktif yang lain adalah bahwa masalah-masalah kebenaran dan ketidak benaran
pada premis-premis yang selalu diambil adalah yang benar. Ini berarti bahwa
konklusi memang sudah didasari oleh kondisi kebenaran. Jadi syllogisme hanya
mempersoalkan 'kebenaran formal' (kebenaran bentuk) tanpa mempersoalkan
'kebenaran material' (kebenaran isi).
Sebuah syllogisme terdiri atas 3 buah proposisi, yaitu
dua buah proposisi yang diberikan atau disajikan dan sebuha proposisi yang
ditarik dari kedua proposisi yang disajikan itu. Proposisi yang disajikan
disebut 'premis mayor' dan 'premis minor' dan kesimpulan yang ditarik disebut
'konklusi'.
Disamping logika tersebut ada pula logika deduktif
yaitu bertolak dari asumsi umum(teori) menuju kepembuktian secara khusus (fakta
emperis). Penalaran deduktif adalah kegiatan berpikir yang berlawanan dengan
penalaran induktif. Deduksi adalah penalaran atau cara berpikir yang bertola
dari pernyataan-pernyataan yang bersifat umum, menarik kesimpulan yang bersifat
khusus. Penarikan kesimpulan secara deduktif biasanya memakai pola berpikir
yang disebut syllogisme. Syllogisme tersusun dari dua buah pernyataan (premise)
dan sebuah kesimpulan (konklusi).
Logika induktif yaitu berdasarkan fenomena
khusus(fakta emperis), menuju kekesimpulan secara umum (teori yang berlaku
umum). Induksi sangat erat hubungannya dengan metode ilmiah (scientific
method), bahkan merupakand asar daripada metode ilmiah.
Induktif atau logika induktif adalah penarikan
kesimpulan dari kasus-kasus individual nyata (khusus) menjadi kesimpulan yang
bersifat umum. Penalaran ini diawali dengan mengemukakan pernyataan-pernyataan
yang mempunyai ruang lingkup yang khas dan terbatas dalam menyusun argumentasi
dan diakhiri dengan pernyataan yang bersifat umum
HUBUNGAN FILSAFAT ILMU
DAN PENELITIAN
Dalam kaitannya dengan hubungan filsafat
ilmu dan penelitian, terdapat tiga komponen dasar yang erat kaitannya dengan
penelitian yaitu : ontologi, epistimologi, dan aksiologi.
Dalam
pembahasan ontology, epistimologi dan aksiologi dikaitkan dengan lgika yang
digunakan untuk pembuktian, baik mengenai kenyataan, kebenaran dan tingkat
kepastian, dapat dikelompokkan menjadi dua aliran filsafat ilmu yaitu,
empirisme dan rasionalisme/rasionalisme menghendaki kebenaran imperik logic,
etik dan transcendental/metafisik, memunculkan logika penomenologik.
Pada logika
positivistic menghendaki perencanaan riset yang rigor/ketat,rinci, terukur,
terkontrol dan penetapan data yang konkrit yang teramati, memunculkan
jenis penelitian kuantitatif.logika
phenomenologikmenhendaki perancanaan riset yang longgar dan luwes, sebab data
yang dicari tidak pasti, sangat tergantung pada fenomena yang dijadikan sasaran
risetnya, memunculkan jenis penelitian kualitatif.
A.
Ontologi
Sebagai komponen dasar filsafat, ontology
memiliki obyek telaah yaitu yang ada. Studi tentang yang ada pada dataran studi
filsafat pada umumnya dilakukan oleh filsafat metafisika. Istilah ontologi
ketika kita membahas yang ada dalam konteks filsafat ilmu. Ontologi membahas
tetantang yang ada yang tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu. Ontologi
membahas yang ada yang universal, menampilkan pemikiran semesta universal.
Sedangkan yang merupakan obyek formal
ontologi adalah hakekat seluruh realitas. Bagi pendekatan kuantitaif, realita
tampil dalam kuantitas atau jumlah, telaahnya akan menjadi telaah monisme,
paralenisme, atau pluralisme. Bagi pendekatan kualitatif, realitas akan tampil
menjadi aliran-aliran materialisme, idialisme, naturalisme atau hylomorphisme. Dalam
hal ini ada tiga tingkatan abstraksi dalam ontologi, yaitu: abstraksi fisik,
abstraksi bentuk dan abstraksi metafisik.
B.
Epistimolgi
Istilah epistimologi berasal dari kata
epiteme yang bebarti pengetahuan dan logos yang berarti pengetahuan, dan logos
yang berarti teori. Secara etimologis, berarti teri pengetahuan. Epistimologi
merupakan cabang filsafat yang mempersoalakan atau menyelidiki tentang asal,
susunan, metode, serta kebenaran pengetahuan. Jadi epistimologi merupakan
cabang atau bagian dari filsafat yang membahasa maslaah-masalah pengetahuan[9].
Epistimologi atau teori pengetahuan, membahas secara
menadalam segenap proses yang terlihat alam usaha kita untuk memperoleh
pengetauan. Ilmu merupakan pengetahuan yang didapat melalaui proses tertentu yang
dinamakn metode keilmuan.
Sebagai komponen dasar selanjutnya adalah epistimologi
yaitu pembahasan tentang bagaimana cara memperoleh kebenaan ilmu pengetahuan.
Bagaimana tata cara memperoleh kebenaran ilmu pengetahuan ini dipengaruhi oleh
ontologi yang dipilihnya. Epistimologi dapat dikelompokkan menjadi dua bagian
yaitu epistimologi subyektif dan epistimologi pragmatik. Epistimologi subyektif
memberikan implikasi pada standar rasional tentang hal yang duyakini.
Menggunakan standar rasional bearti bahwa sesuatu yang diyakini sebagai benar
itu tentunya memiliki sifat reliabel (ajek).
Sejarah mengatakan bahwa tokoh
epistimologi prakmatig adalah Wiliams Jams dan juga Jhon Dewey[10]
yang menyarankan agar pencarian pada yang kekal hendaknya diganti dengan pencermatan
realistik mengkritik ide palsu, diganti dengan pencermatan eksperimental dan
empirik, menggunakan means mencari ins untuk selanjutnya menjadi means. Hal ini
merupakan bukti bahwa ontology merupakan bagian penting dari filsafat.
Dalam perjalanan keilmuan yang terjadi
pada masa dahulu, membuktikan bahwa ilmuwan terdahulu menampilkan tesis dan
teori yang secara berkelanjutan disanggah atau dimodifikasi atau diperkaya oleh
ilmuwan berikutnya. Kebenaran-kebenaran yang ditampilkan berupa tesis atau teori
yang bersifat kondisional sejauh medianya demikian, sampelnya itu, desainnya
demikian dan seterusnya. Dengan demikian kebenaran yang diperoleh dengan cara
kerja demikian adalah kebenaran epistimologik. Ilmu pengetahuan yang berkembang
sekarang dengan metodologi yang kita kenal sekarang ini lebih banyak menjangkau
kebenaran epistimologik, belum menjangkau kebenaran subtantif hakiki, yang
merupakan esensi dari keilmuan itu sendiri.
C.
Aksiologi
Komponen dasar selanjutnya dalam filsafat
adalah aksiologi yaitu pembahasan tentang bentuk ilmu yang dihasilkan dari
penelitian. Inipun dipengaruhi oleh ontologi yang digunakan. Ontologi yang
memahami sesuatu itu tunggal penelitiannya jenis kuantitatif, maka ilmu yang
dibentuknya disebut nomotetik dan bebas nilai (value).
Menurut Scheler ada empat jenis values
dalam aksiologi. Pertama, value sensual, dalam tampilan seperti
menyenangkan dan tak menyenangkan. Kedua, nilai hidup seperti edel (agung) atau
gemein (bersahaja). Ketiga, nilai kejiwaan seperti nilai estetis, nilai benar
salah, dan nilai instrinsik ilmu. Keempat nilai religius, seperti yang suci,
yang sakral[11].
Dari telaah yang dilakukan oleh Scheler tentang etik kontras dengan Kant. Kant
berbicara sollen (kemistian), sedangkan Scheller memandang bahwa kemestian itu
sesuatu yang dibuat-buat.
HUBUNGAN FILSAFAT ILMU,
LOGIKA DAN PENELITIAN
Dari kajian tentang filsafat ilmu, logika dan
penelitian, dapat diketahui bahwa antara filsafat ilmu, logika dan penelitian
memiliki hubungan yang sinergi. Filsafat ilmu yang membahas tentang ontologi,
epistimologi dan aksiologi dikaitkan dengan logika yang digunakan untuk
pembuktian, baik mengenai kenyataan, kebenaran dan tingkat kepastian, dapat
dikelompokkan menjadi dua aliran filsafat ilmu yaitu empirisme dan rasionalisme
atau realisme yang merupakan aliran yang berbeda.
Dalam filsafat rasionalisme atau realisme
lebih menekankan pada cara berfikir positivistik paradigma kuantitatif.
Berfikir positivistik adalah bersifat spesifik berpikir tentang empiri yang
teramati, yang teratur, dan dapat dieliminasi serta di manupulasikan dari
satuan besarnya.
Penelian berusaha
untuk mencapai kebenaran atau menemukan teori-teori ilmiah. Penelitian dalam
konteks ini dapat dipahami sebagai proses epistemologis untuk mencapai
kebenaran. Sumber kebenaran semata-mata berasal dari realitas empiris-sensual,
demikian pandangan positivisme. Sunarto (1993) menjelaskan, August Comte yang
dianggap sebagai peletak dasar positivisme memperkenalkan “hukum tiga jenjang”
perkembangan intelektual manusia, yakni: jenjang teologi, metafisika, dan
positivis. Hal ini tercermin dari cara manusia menjelaskan berbagai gejala
sosial ekonomi. Manusia pada jenjang pertama mengacu kepada hal-hal yang
bersifat adikodrati; pada jenjang kedua mengacu kepada kekuatan-kekuatan
metafisik, dan pada jenjang ketiga mengacu pada deskripsi dan hukum-hukum
ilmiah. Positivisme tidak mengakui – atau setidaknya menganggap rendah --
hal-hal yang di luar empiris-sensual manusia.
Bertolak
dari hukum-hukum ilmiah, positivisme menekankan bahwa obyek yang dikaji harus
berupa fakta, dan bahwa kajian harus mengarah kepada kepastian dan kecermatan. Menurut
Comte, sarana yang dapat dilakukan untuk melakukan kajian ilmiah ialah:
pengamatan, perbandingan, eksperimen, dan metode historis. Positivisme, menurut
Muhadjir (2000) – yang guru besar filsafat ilmu dan metode penelitian – tidak
mempertentangkan antara logika induktif atau deduktif, melainkan lebih
menekankan fakta empiris yang menjadi sumber teori dan penemuan ilmiah.
Berbeda dengan positivisme, rasionalisme menekankan bahwa ilmu berasal
dari pemahaman intelektual yang dibangun atas kemampuan argumentasi secara
logik. Karena itu, yang penting bagi rasionalisme ialah ketajaman dalam
pemaknaan empiri. Muhadjir (2000) menegaskan, pemahaman intelektual dan
kemampuan argumentatif perlu didukung data empirik yang relevan, agar produk
ilmu yang berlandaskan rasionalisme betul-betul ilmu, bukan fiksi. Bagi
rasionalisme fakta empirik bukan hanya yang sensual, melainkan ada empiri
logik, empiri teoritik, dan empiri etik. Misalnya: ruang angkasa, peninggalan
sejarah masa lampau, dan jarak sekian tahun juta cahaya, semuanya merupakan
realitas tetapi tidak mudah dihayatti secara sensual melainkan dapat dihayati
secara teoritik. Karena itu, rasionalisme mengakui realitas empirik teoritik
dan empiris logik (Muhadjir, 2000: 81-2).
Dalam aliran positivistik logik sangat menolak
terhadap ethik transendental yang berada dikawasan metafisik. Para
penganut neo-Kantian dikenal sebagai epistimologi positivistik yang menolak
segala bentuk ethik transenden. Salah satu prinsip utama dalam positivisme
adalah penerapan prinsip variabilitas terhadap sesuatu sebagai benar. Apakah
sesuatu dideskripsikan sebagai benar dalam menggunakan proposisi atau bentuk
lain, perlu diferivikasi benar sakahnya. Sesuatu deskripsi yang benar mungkin
sekali diperkembangkan menjadi hukum, yang diharapkan dapat memberikan
inferensi, memprediksikan untuk kasus lain, atau kasus mendatang.
Berbeda dengan aliran empirik logik yang
pada akhirnya memunculkan logika phenomologik. Dalam berfikir dalam phenomologi
antrophologi mengarah kearah mencari esensi, mencari sifat generatif, mencari
kesimpulan idiografik,dan filsafat yang memberikan landasan adalah phenomologi
Hussert. Realisme metaphisik Popper
berangkan dari filsafat positivistik analitik. Bertemu dengan filsafat
phenomologi Hussert antara lain pada pengakuan tentang kebenaran obyektif
universal. Yang obyektif universal tersebut menurut Hussert dan juga Popper
merupakan suatu abstraksi yang tidak dapat dibuktikan. Pembuktiannya sebatas
pada kasus.
PENELITIAN KUANTITATIF
VS KUALITATIF
Dalam penelitian, terdapat dua hal yang berbeda, yaitu
penelitian kuantitatif dan penelitian kualitatif. Kedua jenis ini akan
dijelaskan sebagai berikut :
a.
Penelitian Kuantitatif
Dalam penelitan kuantitatif diasosiasikan, dengan
istilah pengukuran yang bersifat normative, yaitu dengan menentukan formula
statistik dan kuesioner. Menurut Noeng Muhajir tentang penelitian kuantitatif
yaitu : pertama, penelitian kuantitatif bersumber pada wawasan filsafat
positivisme, filsafat mengembangkan metodologi atas dasar logika induktif,
artinya bahwa ilmu bergerak dari fakta khusus fenomena ke generalisasi
teoretik. Kedua, Pola pikir kuantitatif adalah mengejar yang teratur yang
teramati, yang empiri sensual, menggunakan logika matematis dan membuat
generalisasi, dimana generalisasi tersebut dikonstruksikan dari strata
keragaman individual. Ketiga, metodologi kuantitatif menuntut adanya rancangan
penelitian yang menspesifikasikan obyeknya secara eksplisit di eliminasikan
dari obyek-obyek lain yang tidak teliti. Keempat, metodologi kuantitatif
mengembangkan teknik analisis dengan membatasi pada tata piker logika,
korelasi, kausalitas, interaksi, intervalisasi dan kontinyuasi, kelima, Tujuan
dari penelitian kuantitatif dengan pendekatan positivisme adalah untuk menyusun
ilmu nomotheuk, yakni ilmu yang berupaya membuat hukum dari generalisasinya.
Kebenaran di cari lewat hubungan kausal linier sebab akibat. Teori kebenarannya
adalah teori korespondensi, bahwa sesuatu itu benar bila ada ke sesuaian antara
pernyataan verbal dengan realita empiric (empiric sensual). [12]
b.
Penelitian Kualitatif
Adapun jenis penelitian kualitatif tidak menggunakan statistic atau pengukuran
angka, menurut kirk dan Miller adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan
social yang secara fundamental bergantung pada pengamatan manusia dalam
kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bhasanya
dan dalam peristilahanya. Penelitian ini cenderung menggunakan pendekatan
interpretive.
Dalam penelitian kualitatif, Lexsy Moleong[13]
mengemukakan berbagai ciri dalam pendekatan penelitian kualitatif ini, yaitu :
latar alamiah, manusia sebagai alat (instrument), analsis data secara induktif,
deskiptif,kepala ualitatif mendefinisikan validitas, realibilitas, dan
obyektivitas, desain bersifat sementara dan lain-lain
Perbedaan antara kualitatif dengan kuantitatif menjadi tidak
nampak. Demikian halnya perbedaan antara paradigma ilmiah dengan paradigma
alamiah menjadi hilang, setidaknya semakin menipis. Karena itu, kedua
penelitian kuantitatif dan kualitatif saling melengkapi satu sama lain yang
sama-sama diperlukan.
MENENTUKAN JENIS
PENELITIAN KUANTITATIF ATAU KUALITATIF
Setelah diadakan pemedaan secara
konseptual antara penelitian kuantitatif dan penelitian kualitatif, dapat
diketahui bahwa antara pendekatan kuantitatif dan kualitatif mengandung
perbedaan antara keduanya, bahwa penelitian kualitatif itu berakar pada latar
alamiah sebagai keutuhan, mengandalkan manusia sebagai alat penelitian,
mengadakan analisis data secara induktif, sasaran penelitianya pada usaha
menemukan teori dari dasar, bersifat deskriptif, lebih mementingkan proses dari
pada hasil, membatasi setudi dengan focus, memiliki seperangkat criteria untuk
memeriksa keabsahan data, rancangan penelitiannya bersifat sementara dan hasil
penelitiannya disepakati oleh kedua belah pihak peneliti dan objek penelitian,
dan bertumpu pada pendekatan fenomenologi[14].
Dalam melakukan analisis deskriptif
kuantitatif peneliti mencari jumlah frekuensi dan mencari prosentasenya, dan
analisis lain yang juga masih bersifat deskriptif adalah analisis deskriptif
kualitatif yang tujuan akhirnya memberikan predikat kepada variable yang
diteliti sesuai dengan tolah ukur yang sudah ditentukan, penelitian evaluasi
merupakan jenis penelitian yang banyak menggunakan teknik analisis deskriptif
kualitatif ini, langkah yang dilalui adalah mengadakan pengukuran secara
kuantitas terhadap variable, kemudian baru mentransfer harga kuantitas tersebut
menjadi predikat.
Sedangkan dalam melakukan penelitian
kualitatif dilakukan pada latar alamiah atau konteks dari suatu keutuhan, hal
ini dilakukan, menurut Lincoln
dan Guba, karena ontology alamiah menghendaki adanya kenyataan-kenyataan
sebagai keutuhan yang tidak dapat dipahami jika dipisahkan dari konteks.
Menurut mereka hal tersebut didasarkan atas bebrapa asumsi yaitu: tindakan
pengamatan mempengaruhi apa yang dilihat, karena itu hubungan penelitian harus
mengambil tempat pada keutuhan dalam konteks untuk keperluan pemahaman. Konteks
yang menentukan dalam menentapkan apakah suatu penemuan mempunyai arti bagi
konteks lainya, yang berarti bahwa suatu fenomena harus diteliti dalam
keseluruhan pengaruh lapangan.
PARADIGMA PENELITIAN
KUANTITATIF DAN KUALITATIF
Dalam bidang kajian penelitian, pada hakekatnya wahana
untuk menemukan kebenaran atau lebih membenarkan kebenaran. Usaha untuk
mengejar kebenaran dilakukan oleh para filosof, peneliti, maupun oleh para
praktisi melalui model-model terrtentu. Paradigma, menurut bogdan dan biklen
adalah kumpulan longgar dari sejumlah asumsi yang dipegang bersama , nkonsep
aatu proposisi yang mengarahkan cara berpikir dan penelitian.
Ada bermacam-macam
paradigma, tetapi yang mendominasi ilmu pengetahuan adalah scientific paradigm
(paradigma keilmuan), namun untuk memudahkan penulis menerjemahkannya secara
harfiah sebagai paradigma ilmiah dan naturalistik paradigm atau paradigma
alamiah. Paradigma ilmiah bersumber dari pandangan postivisme, sedangkan
pandangan alamiah bersumber pada padangan fenomenologis sebagai yang telah
dikemukakan.
Paradigma dalam kaitannya dengan
penelitian pada hakekatnya merupakan wahana untuk menemukan kebenaran atau
lebih membenarkan suatu kebenaran, ada bermacam-macam paradigma, tetapi yang
mendominasi ilmu pengetahuan adalah scientifik paradigma keilmuan, paradigma
ilmiah dan naturalistik paradigma atau paradigma alamiah. Paradigma ilmiah
bersumber pandangan positivisme, sedangkan pandangan alamiah bersumber pada
pandangan fenomenologi.
Dalam kaitannya dengan penelitian kuantitatif terkait
secara khas dengan proses induksi enumeratif (induksi yang ditarik atas dasar
penghitungan) salah satu tujuan utamanya adalah menemukan beberapa banyak dan
jenis manusia apa saja dalam populasi umum dan populasi induk yang mempunyai
karaktristik khusus yang ditemukan ada dalam populasi sample[15].
Tujuannya adalah menyimpulkan sistem karaktristik atau hubungan antara ubahan
dengan populasi induk.
Sedangkan dalam penelitian kualitatif
konsep dan kategori, bukan kejadian atau frekwensinya, dengan kata lain
penelitian kualitatif tidak meneliti suatu lahan kosong tetapi ia menggalinya.
Disamping itu sepanjang penelitian kualitatif mempunyai tujuan yang bersifat
teoritis, bukan deskriptif, ini khususnya dalam studi kasus yang menggunakan
metode kualitatif, maka pengujuan teorinya yang lebih penting.
Paradigma penelitian kualitatif di antaranya
diilhami falsafah rasionalisme yang menghendaki adanya pembahasan holistik,
sistemik, dan mengungkapkan makna di balik fakta empiris sensual. Secara
epistemologis, metodologi penelitian dengan pendekatan rasionalistik menuntut
agar obyek yang diteliti tidak dilepaskan dari konteksnya; atau setidaknya
obyek diteliti dengan fokus atau aksentuasi tertentu, tetapi tidak
mengeliminasi konteksnya. Meminjam istilah Moleong (1989),
penelitian kualitatif bertolak dari paradigma alamiah. Artinya, penelitian ini
mengasumsikan bahwa realitas empiris terjadi dalam suatu konteks
sosio-kultural, saling terkait satu sama lain. Karena itu, setiap fenomena
sosial harus diungkap secara holistik.
Perbedaan yang paling esensial dari kedua penelitian
tersebut adalah dalam tradisi kualitatif, peniliti harus menggunakan diri
sebagai instrument mencapai wawasan-wawasan imajinatif kedalam dunia social
responden, peneliti diharapkan fleksibel dan reflektif tetapi tetap mengambil
jarak Konsekuensi dari pendekatan ini adalah metode penelitian kualitatif per
excellence merupakan observasi partisipatoris.
Sedangkan pada tradisi kuantitatif
instrument tersebut adalah alat teknologis yang telah ditentukan sebelumnya dan
tertata dengan baik sehingga tidak banyak memberi peluang bagi fleksibilitas,
masukan imajinatif dan refleksifitas, misalnya : apabila masalah yang diteliti
telah ditentukan dengan jelas dan pertanyaan yang diajukan kepada para
responden memerlukan jawaban yang tidak
ambigus, maka metode kuantitatif seperti koesioner boleh jadi memang tepat
digunakan dalam kondisi seperti ini.
Berkaitan dengan logika penelitian menurut
paradigma kuantitatif, adalah persoalan generalisasian, sedang dalam penelitian
kualitatif yang tidak didasarkan pada sample statistic, masalah
kegeneralisasian tidak muncul dengan model yang sama, pertanyaan-pertanyaannya
agak berbeda, perhatianya berkisar pada replikasi temuan-temuan dalam
kasus-kasus lain yang serupa atau inferensi-inferensi biasanya bersifa teoritis
atau kausal kecuali jika tentu saja kasus-kasus dipilih menurut sample
probabilitas.
Sedangkan logika penelitian menurut
paradigma kuantitatif, perlu juga diajukan pertanyaan-pertanyaan menyangkut
kelompok-kelompok pembanding keputusan-keputusan, disini biasanya tidak begitu
berkembang dengan pertanyaan teoretis sentaral dari penelitisn dan lebih sering
menyangkut variasi-variasi yang diharapkan dalam populasi umum ynag ingin
diamati peneliti dalam pengujian hipotesis.
Berkaitan dengan hal tersebut di atasKirk dan Miller
memberi definisi bahwa penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu
pengetahuan sosial, yang secara fundamental
bergantung pada pengamatan manusia dalam kawasanya sendiri dan berhubungan
dengan orang-orang dalam bahasanya dan dalam peristiwanya. Sedangkan Bogdan dan
Taylor
mendefinisikan metodologi kualitatif sebagai prosedur penilaian yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari
orang-orang dan prilaku yang dapat diamati secara cermat dan detail[16].
Dalam metode kualitatif, Lexy Moleong[17]
mengemukakan bahwa penelitian kualitatif di dasarkan pada : pondasi penelitian,
paradigma penelitian, perumusan masalah, tahap-tahap penelitian, tehnik
penelitian, kriteria dan tehnik pemeriksaan data, analisia dan penafsiran data.
Sedangkan cirri dari penelitian
kuantitatif menurut Abdullah Kadjar memiliki beberapa ciri yaitu : dapat menyokong
pengguna metode kualitatif, menggunakan logika positivisme dan menghindari
sifat-sifat subyaktif, menggunakan pengukuran yang terkendali, obyektif, dapat
dipandang dari sudut pandang (visi) orang luar atau peneliti, berwawasan
verivikasi, penegas, penyederhanaan, inferensial dan hipotesis deduktif,
berorientasi pada tujuan akhir, terpercaya, data merupakan replica,
menggeneralisasikan sebagai studi kasus, bersifat khusus dan bertitik tolak
pada anggapan bahwa realitas itu stabil.
Menurut Noeng Muhadjir metodologi penelitian
kuantitatif ringkasnya yaitu : Penelitian kuantitatif bersumber pada wawasan
filsafat positivisme, pola fakir kuantitatif empris sensual, menuntut adanya
rancangan kerangka teoritis, karena secara onologis, realitas menuntut positivisme
dapat dipecah-pecah, dapat dipelajari secara independent, dieliminasikan dari
obyek lain, dan dapat dikontrol, mengembangkan teknik analisis dengan membatasi
pada tata fakir logika,korelasi,kausalitas, interaksi, intervaliasi dan
kontinyuasi, dengan pendekatan positivisme yaitu untuk menyusun ilmu nomothetik
(empiric sensual) dan hasil penelitian harus bebas nilai, harus obyektif agar
supaya hasil yang dicapai maksimal
Berangkat dari hal tersebut di atas, dapat
ditarik kesimpulan bahwa elemen pokok didalam paradigma penelitian baik
kualitatif atau kuantitatif menyangkut tiga hal yaitu ontology, epistemologi
dan metodologi, dan asumsi-asumsi yang digunakan akan menentukan jenis
penelitian, bisa kuantitatif dan juga bisa kualitatif.
MACAM-MACAM PARADIGMA
PENELITIAN
Dari berbagai macam paradigma yang ada, paradigma
penelitian dibagi menjadi dua, yaitu positivistic dan non positivistic.
Paradigma positivistic dipelopori oleh August Comte dalam pemikirannya,
terutama dalam masalah-masalah kemasyarakatan banyak dipengaruhi oleh Saint
Simon. Menurut Simon bahwa segala sesuatu terjadi berdasarkan hukum-hukum yang
dapat dibuktikan dengan observasi dan percobaan. Selanjutnya menurut Simon
bahwa penjelasan suatu masyarakat secara ilmiah dapat ditentukan dengan mengemukkan
hukum perubahan histories atas dasar induksi sebagai postulat[18].
Paradigma ini dikatakan positivisme,
karena mereka beranggapan bahwa yang dapat kita selidiki dan yang dapat kita
pelajari hanyalah berdasarkan fakta-fakta, yang berdasarkan data-data yang
nyata, yaitu yang mereka namakan positif. Apa yang kita ketahui itu hanyalah
yang tampak saja, di luar itu kita tidak perlu mengetahuinya, dan tidak perlu
untuk diketahui. Positivisme membatasi penyelidikan atau studinya hanya kepada
bidang gejala-gejala saja, tidak kepada studi yang lain.
Dari berbagai prosedur yang ada, prosedur
ilmu pengetahuan tidak memberi peluang untuk tidak menguji eorit-teori secara
langsung dalam pengalaman. Ilmu pengetahuan harus diyakini, baik untuk mencapai
generalisasi deskriptif maupun memperoleh penjelasan-penjelasan yang dapat
diversifikasi secar langsung agar validitasnya terbukti. Dalam hal ini,
positivisme sebagai filsafat mengemukakan pandangannya, bahwa segala sesuatu
yang terjadi berdasarkan hukum-hukum yang dapat dibuktikan dengan observasi,
eksperimen dan verivikasi.
Berbeda dengan fenomenologi dalam
kaitannya paradigma positivistic. Fenomenologi lebih menunjukkan suatu metode
filsafat dibanding dengan suatu ajaran[19].
Metode fenomenologis ini berasal dari Edmund Hussrl (1859-1938), kemudian
dikembangkan oleh Marx Scheler (1874-1928). Dalam pendidikan yang pertama kali
menerapkan metode fenomenologis adalah Langeveld. Paradigma Fenomenologi ini
mengemukakan bahwa kita harus memperknalkan gejala-gejala dengan menggunakan
intuisi. Kenyataan atau realisasi tidak harus didekati dengan argument-argumen,
konsep dan teori umum, maupun dengan menggunakan pendekatan empiriz, seperti
dengan observasidan eksperimen.
Paradigma positivistic yang menuntut segalanya
serba konkrit, rinci dan pasti, menjadi paradigama penelitian kuantitaif.
Paradigma ini kemudian dikenal dengan
paradigma ilmiah (saitific paradigm). Sedangkan paradigma lain yang
menuntut pemahaman lebih mendalam untuk menguak makna dibalik fakta danmenuntut
kewajaran alamiah serta pemaknaan arti menurut subyek pelakunya, lalu dikenal
dengan paradigma alamiyah (naturalistic paradigma), kemudian paradigma
ini menjadi ciri dari model kualitatif[20].
Sebelum peneliti menyusun desain, harus
memilih paradigma penelitian terlebih dahulu. Perlu dijelaskan, bahwa paradigma
itu terdiri dari tiga elemen, yaitu elemen ontology, elemen epistimologi dan
elemen metodologi. Ketiga elemn tersebut harus sinkron, karena tiap paardigma
mempunyai pandangan tersendiri tentang ontoloi, epitimologi dan metodeloginya.
Dpaat dipahami bahwa satu paradigma menghendaki metologi tertentu yang paling
tepat. Positivistic menghendaki model penelitian kuantitatif, sedangkan
paradigama non positivistic bisa menggunakan model penelitian kualitatif. Namun
dalam perkembangannya, semakin jelas penggunaan paradigma ini menjadi ciri
suatu model penelitian[21].
Dalam setiap model
penelitian, yaitu model penelitian kuantitatif bertujuan mengetahui hubungan
sebab-akibat. Hal ini mengakibatkan jenis penelitian ini harus berangkat dari
teori yang diterjemahkan ke dalam proposisi (pernyataan yang dapat diuji
kebenarannya), kemudian diturunkan menjadi hipotesis yang dilakukan pengujian
berdasarkan data yang berhasil dikumpulkan. Karena itu, peneliti kuantitatif berpendirian
reduksionis, yakni hanya mencari fokus kecil di antara berbagai fenomena sosial
yang sesuai dengan teori yang hendak dibuktikannya.
Sebaliknya penelitian
kualitatif, ia mengembangkan perspektif yang akan digunakan untuk memahami dan
menggambarkan realitas. Karena itu, peneliti kualitatif
berpendirian ekspansionis, tidak reduksionis. Ia tidak menggunakan proposisi
yang berangkat dari teori melainkan menggunakan pengetahuan umum yang sudah
diketahui serta tidak mungkin dinyatakan dalam bentuk proposisi dan hipotesis.
Karena itu, dalam penelitian kualitatif tidak terdapat hipotesis tentatif yang
hendak diuji berdasarkan data lapangan.
PERBEDAAN PENDEKATAN
PENELITIAN
KUANTITATIF DAN
KUALITATIF
Ada
hal mendasar yang membedakan antara pendekatan penelitian kuantitif dengan
penelitian kualitatif. Dalam penelitan kuantitatif diasosiasikan dengan istilah
pengukuran yang bersifat normative, yaitu dengan menentukan formula statistik
dan kuesioner, dan cenderung dengan menggunakan angka-angka.
Dalam penelitian kuantitatif menggunakan paradigma positivistik-ilmiah. Segala sesuatu dikatakan ilmiah bila dapat
diukur dan diamati secara obyektif yang mengarah kepada kepastian dan
kecermatan. Karena itu, paradigma ilmiah-positivisme
melahirkan berbagai bentuk percobaan, perlakuan, pengukuran dan uji-uji
statistik. Menurut
Noeng Muhajir penelitian kuantitatif dapat dilihat dari cirri-cirinya sebagai
berikut, yaitu :
- Penelitian kuantitatif bersumber pada wawasan filsafat positivisme, filsafat mengembangkan metodologi atas dasar logika induktif, artinya bahwa ilmu bergerak dari fakta khusus fenomena ke generalisasi teoretik. Hal ini karena ilmu benar (valid) adalah ilmu yang dibangun dari kenyataan empiris.
- Pola pikir kuantitatif adalah mengejar yang teratur yang teramati, yang empiri sensual, menggunakan logika matematis dan membuat generalisasi, dimana generalisasi tersebut dikonstruksikan dari strata keragaman individual.
- Metodologi kuantitatif menuntut adanya rancangan penelitian yang menspesifikasikan obyeknya secara eksplisit di eliminasikan dari obyek-obyek lain yang tidak teliti. Demikian juga kerangka teoretis perlu dirumuskan sespeksifik mungkin, sebab secara ontologism, relitas menurut positivisme dapat di pecah-pecah, dapat di pelajari secar independent, di eliminasikan dari obyek lain dan dapat dikontrol.
- Metodologi kuantitatif mengembangkan teknik analisis dengan membatasi pada tata pikir logika, korelasi, kausalitas, interaksi, intervalisasi dan kontinyuasi
- Tujuan dari penelitian kuantitatif dengan pendekatan positivisme adalah untuk menyusun ilmu nomotheuk, yakni ilmu yang berupaya membuat hukum dari generalisasinya. Kebenaran di cari lewat hubungan kausallinier sebab akibat. Teori kebenarannya adalah teori korespondensi, bahwa sesuatu itu benar bila ada ke sesuaian antara pernyataan verbal dengan realita empiric (empiric sensual)
- Hasil penelitian harus bebas nilai, harus obyektif, dapat berlaku kapan dan dimana saja (bebas waktu dan tempat). Agar hasil penelitian dapat di peroleh secara obyektif, subyektif dan obyek yang diteliti harus terpisah
- langkah penelitian :Penetapan obyek yang spesifik terpisah dari totalitas, Penyususnan kerangka teoretis sesuai dengan ke khususan obyek studi, Merumuskan problematika penelitiannya, Merumuskan hipotetis, Menentukan instrument pengumpulan data, Menentukan teknik sampling, Menentukan teknik analisis.
Berangkat
dari asumsi di atas, maka dapat diketahui bahwa, secara garis besar proses
penelitian terdiri dua tahapan yakni tahap teoretis dan tahap empiris. Hal itu
karena pada hakekatnya penelitian merupakan usaha untuk menjembatani dunai
konseptual dengan dunia empiris. Pada tahap teoretis peneliti menysun kerangka
pemikiran yang akan digunakan untuk menghubungkan kenyataan yang akan diteliti
dengan alam pemikiran peneliti. Selanjutnya dengan berpedoman kepada kerangka
pemikiran yang akan di gunakan untuk menghubungkan pada tahap empiris, peneliti
mengabstaksikan gejala-gejala empiris sehingga menjadi konsep, kemudian
menggeneralisasikan konsep sehingga menjadi konsepsional dengan dunia empiris
itu peneliti melakukan penerapan dua system logika yakni logika induktif dan
logika deduktif.
Berbeda dengan penelitian kualitatif tidak menggunakan statistic atau pengukuran
angka, akan tetapi hanya dinyatakan dengan bentuk sistematika analisa terhadap
berbagai hal. menurut Kirk dan Miller adalah tradisi tertentu dalam ilmu
pengetahuan social yang secara fundamental bergantung pada pengamatan manusia
dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bhasanya
dan dalam peristilahanya. Penelitian ini cenderung menggunakan pendekatan
interpretive, menurut Lexsy Moleong[22]
ada beberapa ciri pendekatan ini:
1. Latar alamiah
Artinya melakukan pada latar alamiah atau pada konteks dari
satu keutuhan (entity), hal ini dimaksudkan agar kenyataan sebagai satu
keutuhan tidak akan dapat dipahami jika dipisahkan dari konteksnya, karena
tindakan pengamatan mempengaruhi obyek yang dilihat, dan konteks sangat
menentukan penetapan apakah suatu penemuan mempunyai arti bagi konteks lainnya,
ini berarti bahwa suatu fenomena harus diteliti secara keseluruhan yang terkait
dengan pengaruh lapangan
2. Manusia sebagai alat
(instrument)
Hal ini dilakukan karena jika memanfaatkan alat yang bukan
manusia dan mempersiapkannya terlebih dahulu sebagai yang lazim digunakan dalam
penelitian klasik, maka tidak mungkin untuk mengadakan penyesuaian terhadap
kenyataan-kenyataan yang ada dilapangan.
3. Analsis data secara
induktif
Analisis induktif digunakan karena ada beberapa pertimbangan,
karena proses induktif lebih dapat menemukan kenyataan-kenyataan ganda sebagai
yang terdapat dalam data, karena lebih dapat membuat hubungan peneliti dengan
responden menjadi eksplisit dan lain-lan
4. Deskiptif
Data yang dikumpulkan berupa kata-kata, gambar dan bukan angka,
dokumen dan sebagainya dideskripsikan sehingga dapat memberikan kejelasan
terhadap kenyataan atau realitas
5. Kualitatif
mendefinisikan validitas, realibilitas, dan obyektivitas
6. Desain bersifat
sementara dan lain-lain
Berangkat dari perbedaan yang sangat esensial antara penelitian
kuantitatif dengan peneiltian kualitatif maka dapat diketahuui bahwa landasan
berfikir penelitian kualitatif yang menggunakan pendekatan positivistic adalah
falsafah positivisme dengan memanfaatkan metode kuantitatif. Jika
dideskripsikan dengan langkah-langkah yang terstruktur teramati, yang memori
sensual, membuat generalisasi, mengakomodasi deskripsi verbal, menggantikan
angka atau menggabungkan olahan statistic dengan olahan verbal.
Disamping pendekatan positivistic, terdapat pula pendekatan
rasionalistik adalah metodologi penelitian kualitatif yang berlandaskan
filsafat rasionalisme dan tidak sekedar menggunakan rasio. Pendekatan ini juga
mengejar diperolehnya generalisasi atau hokum-hukum baru. Bedanya positivistic
karena ia bertitik tolak dari grand concept.
Dari hal tersebut di
atas, dapat diketahui bahwa penelitian kualitatif disebut
sebagai paradigma alamiah, karena penelitian ini
menggunakan teknik kualitatif, yakni pengungkapan realitas tanpa melakukan
pengukuran yang baku
dan pasti. Peneliti berusaha menggambarkan fenomena sosial secara holistik
tanpa perlakuan manipulatif. Keaslian dan
kepastian merupakan faktor yang sangat ditekankan. Karena itu, kriteria
kualitas lebih ditekankan pada relevansi, yakni signifikasi dan kepekaan
individu terhadap lingkungan sebagaimana adanya. Sebaliknya penelitian
kuantitatif disebut sebagai paradigma ilmiah lebih ditekankan pada validitas
internal dan eksternal, reliabilitas instrumen dan obyektivitas.
DESAIN PENELITIAN
KUANTITATIF DAN KUALITATATIF
& MACAM-MACAM DESAIN
PENELITIAN
Dalam upaya mendesain penelitian kuantitatif dan
kualitatif, maka ada beberapa langkah yang perlu dijawab untuk melakukan
penelitian dengan menggunakan kedua pendekatan tersebut. Menurut Norman dan
Yvona, setiap desain harus menjawab empat pokok pertanyaan yang sangat erat
kaitannya dengan pembentukan desai penelitian, yaitu :
Bagaimana
menghubungkan desain dengan paradigma ?
Dalam upaya menghubungkan desain dengan paradigma,
maka diperlukan data yang menggunakan perspektif teoritik tertentu, kita bisa
mengenal pola piker yang digunakan dalam menyusun proposisi dan pola hubungan
antar konsep dalam fenomena yang dihadapi. Dari pola pikir dan pola hubungan
antar konsep inilah, bisa ditentukan data (variable) apa saja yang akan dicari
guna dijadikan sebagai pedoman penelitian.
Apa
dan siapa yang akan diteliti ?
Pertanyaan ini berusaha untuk menjawab tentang obyek
kajian yang akan diteliti oleh peneliti yang berkaitan dengan tujuan
penelitian. Mengenai apa dan siapa ini, bisa berupa benda-benda, individu, bisa
kelompok, bisa lembaga dan sebagainya. Bila siapa yang menjadi sumber data,
maka bisa ditentukan populasi, sample, responden, informannya sesuai dengan
model penelitian dan kebutuhannya di lapangan.
Strategi
apa yang akan digunakan dalam meneliti ?
Berkaitan dengan strategi yang akan digunakan oleh
peneliti untuk meneliti obyke kajiannya, maka dalam hal ini terdapat beberapa
macam strategi penelitian yang dapat digunakan agar supaya hasil penelitiannya
valid dan dapat diverivikasi. Di bawah ini terdapat strategi penelitian
sekaligus desain penelitiannya yang kami kutip dari Prof Drs. H. M. Kasiram, M.
Sc[23]
sebagai berikut :
Dari paradigma ilmiah, muncul beberapa strategi
penelitian antara lain :
Strategi penelitian Desain
penelitian
Deskriptif Desain
diskriptif
Korelasi Desain
korelasi
Kausal Desain
kausal
Komparatif Desain
komparatif
Eksperimen Desain
eksperinmental
Quasi eksperimental Desain
quasi eksperimental
Action research Desain
action research
Metode
apa yang akan digunakan ?
Setelah kita mendesaian penelitian yang akan kita
lakukan, maka langkah selanjutnya adalah, maka berdasarkan sumber data dan
variable/data yang akan diacari, maka dengan mudah pula ditentukan metode
pengumpulan datanya, instrument pengumpulan data, dan sekaligus metode analisis
data yang akan digunakan dalam proses pelaksanaan penelitiannya.
Desain yang ada tersebut akan memberikan kemudahan
dalam proses mencari dan menganalisa data, sehingga peneliti tidak akan
menemukan kesulitan yang berarti dalam pelaksanaan penelitiannya kelak.
MENGGABUNGKAN PENELITIAN
KUANTITATIF DAN KUALITATIF
Berbicara
mengenai upaya penggabungan antara penelitian kuantitaif dan penelitian
kualititaif, maka nantinya akan didapatkan suatu titik temu yang berkaitan
dengan pelaksanaan penelitian yang dilakukan oleh para peneliti, yang pada
akhirnya memberikan kemudahan kepada para peneliti. Biasanya, peneliti
kuantitatif biasanya tidak puas dengan hasil analisis statistic. Misalnya
dengan data yang dikumpulkan dengan kuesioner, analisis statistic dilakukan
untuk menemukan hubungan antara dua tau lebih variable. Ternyata hasilnya tidak
memuaskan karena tidak ada hubungan. Peneliti meragukan hasilnya karena hipotesisnya
tidak teruji, untuk itu ia lalu mengadakan wawancara mendalam untuk melengkapi
penelitiannya. Hal ini mengindikasikan bahwa peneliti berusaha menggabungkan
dua karakteristik penlitian yang berbeda, yaitu kuantitatif dan kualitatif.
Begitu juga sebaliknya terjadi, peneliti kualitatif sering
menggunakan data kuantitatif, namun yang sering terjadi pada umumnya tidak
menggunakan analisis kuantitatif bersama-sama. Jadi, dapat dikatakan bahwa
kedua pendekatan tersebut dapat diguinakan apabila desainnya adalah
memanfaatkan satu paradigma sedangkan paradigma lainya hanya sebagai pelengkap
saja.
Dari sebagian besar uraian metodologi tampaknya
sepakat bahwa sepanjang dua paradigma yang berbeda dianggap ada, perbedaan yang
terpenting adalah cara masing-masing memperlakukan data. Dalam tradisi
kualitatif peneliti harus menggunakan diri mereka sebagai instrument, mengikuti
asumsi-asumsi cultural sekaligus mengikuti data konsekuensi dari pendekatan ini
adalah metode penelitian kualitatif merupakan observasi partisipatoris
(pengamatan terlibat). Dalam tradisi kuantitatif instrument tersebut adalah
alat teknoogis yang telah ditentukan sebelumnya dan tertata dengan baik
sehingga tidak banyak memberi peluang bagi fleksibelitas, masukan imajinatif
dan refleksitas. Tehnik kuantitatif seperti wawancara mendalam lebih
dibutuhkan.[24]Dari
upaya proses penggabungan kedua jenis penelitian tersebut, antara kuantitatif
dengan kualitatif, dapat dijelaskan bahwa perbedaan antara kedua paradigma itu
terkait dengan tingkat pembentukan pengetahuan dan proses penelitian.
Penggabungan dua metode yang berbeda
dalam sebuah rangkaian penelitian memunculkan persoalan gerak antara
paradigma-paradigma pada tingkat epistemology dan teori dalam praksisnya.
Dalam proses penggabungan pendekatan dan metode
disusun menurut beberapa factor : pertama, menyangkut arti penting yang
diberikan kepad amasing-masing pendekatan dalam keseluruhan proyek. Kedua,
menyangkut urutan waktu, jangka waktu untuk mana kedua metode ditempuh secara
simultan. Jelaslah bahwa konstribusi metode kualitatif terhadap perumusan
maslaah teoritis yang dikaji oleh suvei menuntut dilakukannya durvey lapangan
secar intensif sebelum survey. Disamping itu, jika tujuan survey lapangan
kualitatif untuk memperjelas dan memperluas temuan survey, maka hal itu harus
dilakukan setelah survey. Ketiga juga terkait dengan urutan waktu dan
menyangkut tahap dalam proses penelitian saat kedua metode digunakan atau
dihentikan. Misalnya, kedua metode dapat diakses ke dalam proyek pada tahap
pembuatan desain, tetapi hanya satu metode yang diperhitungkan dalam penulisan
laporan penelitian. Keempat yang menentukan pemakaian metode menyangkut
pembagian keterampilan dalam tim penelitian.
Dari proses penggabungan tersebut, tergantung kepada
individu peneliti dalam menggunakan dan melaksanakan penelitiannya, apakah
lebih cenderung kepada penelitian kuantitif atau lebih cenderung kepada
penelitian kualitatif dalam menganalisa data yang didapat dari hasil
penelitiannya.
Dari kedua penggabungan jenis penelitian tersebut, dapat
diketahui bahwa kehadiran dan keberadaan dua paradigma yang berbeda mengesankan
adanya sesuatu yang menjadi pedoman para peneliti, terutama bagi
praktek-praktek mereka. Ini tidaklah mengherankan karena kumpulan teks-teks
metodologi yang mengesankan keberadan dua paradigma tersebut. Bahwa terminology
yang lebih tua usianya dan digunakan lebih luas dijumpai dalam literature yang
menyebut strategi ini sebagai “triangulasi” yaitu:
1.Metode-metode ganda
Dalam metode ganda atau tringulasi ini bisa terjadi antara
metode atau bisa juga didalam metode. Pedekatan mencakup metode yang sama yang
digunakan pada kesempatan yang berbeda, sementara metode berarti pemakaian
metode yang berbeda dalam kaitan dengan obyek studi sama, masalah yang
substantive, oleh karena itu dalam kasus terakhir observasi partisipatoris
dalam lingkup ruang kelas bias digabungkan dengan survey kuesioner para siswa
dan guru, pendekatan didalam metode dapat mencakup pengulangan metode yang sama
pada jumlah kesempatau dan bias pula menghasilkan penilaian yang berbeda
tentang situasi pada saat-saat yang berbeda.
2. Peneliti-peneliti
gabungan
Peneliti gabungan disni dimaksudkan bahwa personel yang
melakukan tahapan penelitian ini dilakukan oleh kemitraan atau kelompok bukan
oleh orang perorang, organisasi penelitian adalah bagian penting dari strategi
penelitian individu-individu yang berbeda dan gabungan orang membawa perspektif
yang berbeda kedalam penelitian. Sebagai missal menurut Stacey (1960)
mengomentari studi pertamanya tentang Banbury, menunjukan bahwa tiga peneliti
yang tergabung dalam tim peneliti mencerminkan tiga kelas social yang
berbeda kelas merupakan kunci utama
studi Banbury kelas atas, kelas menengah dan kelas pekerja.
4. Sekumpulan data
gabungan
Dari beberapa sekumpulan data gabungan, kumpulan data yang
berbeda disamping bisa diperoleh melalui penerapan metode-metode yang berbeda,
juga melalui penggunaan metode yang sama pada waktu yang berbeda atau
sumber-sumber yang berbeda. Data bisa dikumpulkan pada titik-titik waktu yang
berbeda dan konteks situasi ataupun latar yang bervariasi, disamping itu data
kadang-kadang terkait dengan tingkat-tingkat analisa social yang berbeda,
tingkat individual, tingkat interaktif dan kolektif yang berbeda pul.
5. Teori- teori gabungan
Peneliti dalam melaksanakan penelitiannya bisa menggunakan
teori-teori gabungan, analisa data awal, bersama dengan wawasan-wawasan dari
proses penelitian itu sendiri, bisa menghasilkan sejumlah kemungkinan teori dan
hipotesis tentang masalah yang diteliti. Ini pada giliarnnya dapat diuji pada
data, jika tidak pengujian penelitian sebelumnya dapat menuntun peneliti untuk
menguji sejumlah hipotesis yang logis dan mungkin kontras dengan
temuan-temuannya.
Antara
penelitian kualitatif dengan kuantitatif seakan-akan terdapat perbedaan
paradigmatif yang tidak ada titik temu. Tapi sebenarnya antara kedua penelitian
itu tidak terdapat perbedaan yang cukup jauh. Justru sebaliknya kini antara
keduanya saling mendekat dan melengkapi satu sama lain. Tata pikir logika
penelitian positivisme-kuantitatif yang meliputi tata pikir korelasi, sebab
akibat, dan tata pikir timbal-balik atau interaktif, seperti nampak dalam
model-model uji statistik inferensial, menurut Muhadjir, dapat ditempatkan
dalam sebuah grand theory artau grand consept agar data empirik
sensual dapat dimaknai dalam cakupannya yang lebih luas.
Apa
yang dimaksud dengan grand theory,
sesungguhnya tiada lain ialah teori-teori besar yang menjadi kunci analisis
untuk memahami fenomena sosial, baik statika maupun dinamika sosial. Ini
merupakan logika makro yang menjadi pijakan analisis. Penelitian kuantitatif
hanya menggunakan logika mikro, seperti korelasi dan hubungan sebab akibat,
sedangkan penelitian kualitatif seringkali tertarik pada logika makro. Karena
itu, Muhadjir mengusulkan agar logika mikro kuantitatif ditempatkan dalam
kerangka logika makro. Di antara logika makro itu ialah: Pertama,
pola pikir historik atau proses perkembangan. Kedua, pola pikir yang
terkait dengan sistematisasi pengetahuan, seperti pola pikir sistemik,
fungsional, pragmatik dan pola pikir kontekstual. Ketiga, pola pikir
yang mengarah dari kutub statika sosial seperti struktur sosial kepada dinamika
sosial. Ketiga, pola pikir yang menggambarkan keterkaitan antara
berbagai fenomena dengan asumsi bahwa suatu fenomena terkait dengan fenomena
yang lain.
Penempatan
tata pikir mikro yang bersifat korelasional dan eksperimental dalam sebuah konteks grand theory,
barangkali akan lebih jelas jika dirinci untuk masing-masing bentuk penelitian
kuantitatif positivistik. Sudah diketahui umum bahwa bentuk penelitian
kuantitatif terdiri dari penelitian deskriptif, korelasional dan eksperimen,
walaupun dalam pengembangannya terjadi perbedaan pendapat. Masing-masing
bentuk penelitian tersebut kita tempatkan dalam logika penelitian kualitatif.
Berangkat dari hal tersebut di atas, dapat kita pahami bahwa di
dalam penggabungan antara kedua metode itu membutuhkan kecermatan dan ketepatan
seperti diperlukan pada setiap tahap proses penelitian, dari tahap pembuatan
desain sampai penulisan, misalnya, karena desain penelitian kualitatif sering
menggunakan strategi sampling non probilitas maka penting diperjelas pada
tahapan pembuatan desain, mengapa dan kapan saatnya menggunakan sample-sampel probalitas
dan konsekuensi jenis data yang dihasilkan dari keputusan tersebut, sehingga
dapat menjaga terhadap kualitas dan validitas hasil penelitian.
KARAKTERISTIK DISAIN
KUALITATIF
Berkaiatan dengan karakteristik yang dimiliki oleh setiap
penelitian, apakah itu penelitian kuantitaif ataupun kualitatif, dalam hal ini
penelitian kualitatif memiliki sejumlah ciri-ciri yang membedakannya dengan
penelitian jenis lainnya. Dari hasil penelaahan kepustakaan ditemukan bahwa
Bogdan dan Biklen [25]
mengajukan lima
buah cirri yang membedakan antara penelitian kualitatif dengan penelitian
kuantitaif. Sedangkan Lincoln dan Guba mengulas sepuluh buah ciri penelitian
kualitatif. Uraian di bawah ini merupakan hasil pengkajian dan sintesis kedua
versi tersebut. Adapun ciri-ciri dari desain penelitian kualitiatif[26]
yaitu :
a. Latar alamiah
Dalam latar alamiah ini, penelitian
kualitatif melakukan penelitian pada latar alamiah atau pada konteks dari suatu
keutuhan (entity) hal ini dilakukan, menurut Lincoln dan Guba (1985 : 39), karena ontologi
alamiah menghendaki adanya kenyataan-kenyataan sebagi keutuhan yang tidak dapat
dipahami jika dipsahkan dari konteksnya. Menurut mereka hal tersebut didasarkan
atas beberapa asumsi bahwa: (1) tindakan pengamatan mempengaruhi apa yang dilihat,
karena itu hubungan penelitian harus mengambil tempat pada keutuhan- dalam –
konteks untuk keperluan pemahaman; (2) konteks sangat menentukan dalam
menetapkan apakah suatu penemuan mempunyai arti bagi konteks lainnya, yang
berarti bahwa suatu fenomena harus diteliti dalam keseluruhan pengaruh
lapangan; (3) sebagian struktur nilai kontekstual bersifat determinatif
terhadap apa yang akan di cari dlaam proses penelitiannya.
Dari beberapa uraian tersebut di atas,
akan dapat membawa peneliti untuk memasuki dan melibatkan sebagian waktunya
apakah di sekolah, keluarga, tetangga, dam lokasi lainnya untuk meneliti
masalah pendidikan ayau sosiologi. Peneliti yang mengadakan penelitian terhadap
mahasiswa kedokteran, misalnya mengikuti mawasiswa sebagai subyek penelitiannya
kedalam ruang kuliah, laboratorium, rumah sakit, dan tempat-tempat yang
biasanya di gunakan oleh mereka untuk berkumpul seperti kafetaria, asrama,
tempat-tempat pertemuan dan sebagainya.
b. Manusia sebagai alat
(instrument)
Pada pelaksanaan penelitian kualitatif,
peneliti sendiri atau dengan bantuan orang lain merupakan alat pengumpul data
utama. Hal ini dilakukan karena, jika memanfaatkan alat yang bukan manusia dan
mempersiapkan terlebih dahulu sebagai yang lazim digunakan dalam penelitian klasik,
maka sangat tidak mungkin untuk mengadakan penyesuaikan terhadap
kenyataan-kenyatan dilapangan. Selain itu, hanya “manusia sebagi alat” sajalah
yang dapat berhubungan dengan responden atau obyek lainnya, dan hanya manusia
sebagai alat sajalah yang dapat berhubungan dengan rfesponden atau obyek
lainnya dan hany manusialah yang mampu memahami kenyataan-kenyataan di
lapangan. Oleh karena itu pada waktu
mengumpulkan data dilapangan, peneliti berperan serta dalam kegiatan kemasyarakatan. Penulis menamakan
cara pengumpulan data demikian “ pengamtan berperan serta atau
participant-observation.
c. Metode Kualitatif
Dalam pelaksanaan penelitian, penelitian
kualitataif menggunakan metode kualitatif dalam analisa datanya. Metode
kualitatif ini digunakan karena beberapa pertimbangan. Petama, menyesuaikan
metode kualitatif apabila berhadapan dengan kenyataan ganda; kedua, metode ini
menyajikan secaralangsung hakekat hubungan antara peneliti dengan responden;
dan ketiga, metode ini lebih peka dan lebih dapat menyesuaikan diri dengan
banyak penajaman pengaruh bersama dan terhadap pola nilai-nilai yang dihadapi
oleh peneliti.
d. Analisis data secara Induktif
Dalam proses pelaksanaan analisis data
yang diperoleh oleh peneliti, maka analisis yang harus digunakan oleh peneliti
adalah analisis data secara induktif. Analisis data induktif ini digunakan
karena beberapa alasan, pertama, proses induktif lebih dapat menemukan
kenyataan-kenyataan ganda sebagai yang terdapat dalam data. Kedua,
analisis induktif lebih dapat membuat hubungan peneliti – responden menjadi
eksplisit, dapat dikenal, dan
accountable. Ketiga, analisis demikian lebih dapat menguraikan latar secara
penuh dan dapat menbuat keputusan-keputusan tentang dapt-tidaknya pengalihan
kepada suatu latar lainnya. Keempat, analisis induktif lebih dapat
menemukan pengaruh bersama yang mempertajam hubungan-hubungan. Kelima,
analisis demikian dapat memperhitungan nilai-nilai secara eksplisit sebagai
bagian dari struktur analitik.
e. Teori dari dasar (Grounded
theory)
Pada pelaksanaan penelitian kualitiatif, biasanya yang
sering dilakukan oleh para peneliti pada bidang penelitian kualitatif lebih
menghendaki arah bimbingan penyusunan teori subsantantif yang bersal dari data.
Hal ini disebabkan oleh beberapa hal :
- Tidak ada teori apriori yang dapat mencakupi kenyataan-kenyataan ganda yang mungkin akan dihadapi
- Penelitian ini mempercayai apa yang dilihat sehingga ia berusaha untuk sejauh mungkin menjadi netral
- Teori-teori dari dasar lebih dapat responsif terhadap nilai-nilai kontekstual.
Setelah melaksanakan
penelitian dengan menggunakan analisis induktif, berarti bahwa pencarian data
bukan dimaksudkan untuk membuktikan hipotesis yang telah dirumuskan sebelum
penelitian diadakan. Analisis ini lebih merupakan pembentukan abstraksi
berdsarkan bagian-bagian yang telah dikumpulkan, kemudian
dikelompok-kelompokan. Jadi, penyusunan teori di sini berasal dari bawah ke
atas, yaitu dari sejumlah bagian yang banyak data yang dikumpulkan dan yang
saling berhubungan. Jika peneliti merencanakan untuk menyusun teori arah
penyusunan teori tersebut akan menjadi jelas sesudah ada data dikumpulkan. Jadi
peneliti dalam hal ini menyusun atau membuat gambaran yang makin menjadi jelas
sementara data dikumpulkan dan bagian-bagiannya diuji.
f. Deskriptif
Data
diskriptif adalah data yang tidak nampak. Data ini biasanya dikumpulkan dan
dioleh dengan berupa kata-kata, gambar dan bukan angka-angka. Hal ini
disebabkan oleh adanya penerapan metode kualitatif. Selain itu semua yang
dikumpulkan berkemungkinan menjadi kunci terhadap apa yang sudah diteliti oleh
peneliti yang berkaitan dengan obyek dan tujuan penelitiannya. Dengan demikian,
laporan penelitian akan berisi kutipan-kutipan data untuk memberi gambaran
penyajian laporan tersebut.
Data
tersebut mungkin berasal dari naskah wawancara, catatan lapangan, foto, vidio
tipe, dokumen pribadi, catatan atau memo, dan dokumen resmi lainnya. Pada
penulisan laporan demikian, peneliti menganalisis data yang sangat kaya
tersebut dan sejauh mungkin dalam bentuk aslinya. Hal itu hendaknya dilakukan
seperti orang merajut sehingga setiap bagian ditelaah satu demi satu.
Pertanyaan dengan kata tanya “menngapa”, alasan apa, dan bagaimana terjadinya
akan senantiasa dimanfaatkan peneliti. Dengan demikian peneliti tidak akan memandang
bahwa sesuatu itu sudah memang demikian keadaannya.
g. Lebih mementingkan
proses dari pada hasil
Berkaitan
dengan penelitian karakteristik pada penelitian kualitatif, dapat diketahui
bahwa dalam pelaksanaan penelitian kualitatif lebih banyak mementingkan aspek
“proses” dari pada hasil. Hal ini disebabkan oleh hubungan bagian-bagian yang
sedang diteliti akan jauh lebih jelas apabila diamati dalam proses. Bogdan dan
Biklen[27]
memberikan contoh seorang peneliti yang menelaah sikap gurub terhadap jenis siswa
tertentu. Peneliti mengamatinya dalam hubungan sehari-hari, kemudian
menjelaskan tentang sikap yang diteliti.
h. Adanya batas yang
ditentukan fokus
Pada
karaketristik penelitian kualitatif ditetapkannya mengenai batasan-batasan
dalam penelitiannya atas dasar fokus yang timbul sebagai masalah dalam
penelitian. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa hal:
- Batas menentukan kenyataan ganda yang kemudian mempertajam fokus.
- penetapan fokus dapat lebih dekat dihubungkan oleh interaksi antara peneliti dan fokus.
Dengan kata lain, bagaimanpun penetapan fokus
sebagai masalah penelitian penting artinya dalam usaha menemukan batas
penelitian. Dengan hal itu dapatlah peneliti menemukan lokasi penelitian yang
memudahkan seorang peneliti dalam melakukan tugas penelitiannya.
i. Adanya kriteria
khusus untuk keabsahan data
Apapun jenis
penelitiannya, pasti akan dibutuhkan beberapa criteria yang berkaitan dengan
jenis penelitian yang dilakukan oleh peneliti. Penelitian kualitatif
meredefisikasikan validitas, reliabilitas, dan obyektifitas dalam versi lain
dibandingkan dengan lazin digunakan dalam penelitian klasik. Menurut Lincoln
dan Guba[28]
hal itu disebabkan oleh validitas internal cara lama telah gagal karena hal itu
menggunakan isomorfisme antara hasil penelitian dan kenyataan tunggal di mana
penelitian dapat dikofergensikan. Kedua, validitas eksternal gagal karena tidak
taat asas dengan aksioma dasar dari generalisasinya; ketiga, kreteria
realibilitas gagal karena mempersyaratkan stabilitas dan keterlaksanaan secara
mutlak dan keduanya tidak mungkin digunakan dalam paradigma yang didasarkan
atas dasar desain yang dapat berubah-rubah; keempat, kreteria obyektifitas
gagal karena penelitian kualitatif justru memberi kesempatan interaksi antara
peneliti-responden dan peranan nilai dalam prose penelitiannya.
j. Desain yang bersifat
sementara
Konsep dalam
penelitian kualitatif ini menyusun desain yang secara terus menerus disesuaikan
dengan kenyataan lapangan. Jadi, tidak menggunakan desain yang telah disusun
secara ketat dan kaku sehingga tidak dapat diubah lagi. Hal itu disebabkan oleh
beberapa hal. Pertama, tidak dapat dibayangkan sebelumnya tentang
kenyataan-kenyataan ganda di lapangan; kedua, tidak dapat diramalkan sebelumnya
apa yang akan berubah karena hal itu akan terjadi dalam interaksi antara
peneliti dengan kenyataan; ketiga, bermacam sisitem nilai yang terkait
berhubungan dengan cara yang tidak dapat diramalkan dalam waktu yang relative
singkat.
k. Hasil penelitian
dirundingkan dan disepakati bersama
Karakteristik
desain penelitian kualitatif lebih menghendaki agar pengertian dan hasil
interpretasi yang diperoleh dirundingkan dan disepakati oleh manusia yang
dijadikan sebagai sumber data. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal. Pertama,
susunan kenyataan dari merekalah yang akan diangkat oleh peneliti; kedua, hasil
penelitian bergantung pada hakikat dan kualitas hubungan antara pencari dan
yang dicari; ketiga, konfirmasi hipotesis kerja akan menjadi lebih baik
verivikasinya apabila diketahui dan dikonformasikan oleh orang-orang yang ada
kaitannya dengan yang diteliti oleh peneliti pada bidang garapannya.
TAHAPAN RISET KUALITATIF
Dalam
tahapan riset penelitian kualitatif, sekalipun prosesnya dilakukan secara induktif, tidak berarti peneliti tanpa memiliki
perspektif. Ia dapat memilih permasalahan penelitian, pendekatan sebagai
perspektif dalam memahami gejala sosial keagamaan karena memahami berbagai
teori; atau setidaknya ia membaca hasil-hasil penelitian yang memiliki
kedekatan dengan penelitian yang dilakukan.
Penelitian
harus dilakukan melalui beberapa tahapan. Salah satu tahapan penting, menurut
Moleong ialah menyusun rancanan penelitian. Isi rancangan penelitian sebenarnya
tidak ada yang baku.
Akan tetapi secara umum rancangan tersebut berisi: (1) latar belakang masalah,
(2) tinjauan pustaka, (3) pemilihan lapangan penelitian (jika akan penelitian
lapangan, (4) penentuan jadual penelitian, (5) rancangan pengumpulan data, dan
(6) rancangan prosedur analisis data. Studi kepustakaan diharapkan akan
menghasilkan : (a) rumusan masalah dan fokus
penelitian, (b) pertanyaan-pertanyaan penelitian, dan (c) signifikasi
penelitian.
Usaha
mempelajari penelitian kualitatif tidak terlepas dari usaha mengenal
tahap-tahap penelitian. Tahap-tahap penelitian kualitatif dengan salah satu ciri
pokoknya peneliti menjadi sebagai alat penelitian, menjadi berbeda dengan
tahap-tahap penelitian nonkualititif. Khususnya analisa data cirri khasnya
sudah dimulai sejak awal pengumpulan data. Hal itu sangat membedakannya dengan
pendekatan yang menggunakan eksperimen.
Menurut
Bogdan dalam Lexy J Moleong (2003 : 85) bahwa terdapat tiga tahapan dalam riset
kualitatif yakni : (1) pra lapangan, (2) kegiatan lapangan (3) analisis
intensif. Sedangkan menurut Kirk dan Miller (1986) menyatakan adanya empat tahapan,
yaitu : (1) invensi (2) temuan, (3) penafsiran, (4) eksplanasi; Lofland (1984)
mengajukan 11 tahap, yaitu : (1).Mulai
dari tempat anda berada, (2).Menilai latar penelitian, (3).Masuk lapangan,
(4).Bersama lapangan, (5).Mencatat dengan hati-hati (loging data),
(6).Memikirkan satuan, (7).Mangajukan pertanyaan, (8).Menjadi tertarik,
(9).Mengembangkan analisis, (10).Menulis laporan dan, (11).Membimbng akibat.
Sedangkan
menurut Janice dalam Norman dan Yvonna (1994 :
220-232) terdapat enam tahap dalam menyusun
rancangan riset kualitatif yakni :
- The stage of reflection
- The stage of planning
- The stage of entry
- The stage of productive data collection
- The stage of withdrawal
- The stage of writing
Dalam tema
ini, penulis hanya membatasi pembahsan scara singkat pada tahapan riset yang
dikemukakan oleh Bogdan dengan disentesiskan dengan uraian dari sumber lain.
A. Tahap pra lapangan.
Dalam tahap
pra lapangan ini, terdapat enam kegiatan yang harus dilakukan oleh peneliti dan
dalam tahapan ini pula ditambah dengan satu pertimbangan yang perlu dipahami,
yaitu etika penelitian lapangan[29].
Kegiatan dan pertimbangan tersebut diuraikan berikut ini.
- Menyusun Rancangan Penelitian
Dalam proses
penyusunan rancangan suatu penelitian kualitatif biasanya dinamakan dengan
usulan penelitian, paling tidak berisi (1) latar belakang masalah dan alasan
pelaksanaan penelitian (2) kajian kepustakaan yang menghasilkan (3) pemilihan
lapangan penelitian (4) penentuan jadwal penelitian (5) pemilihan alat
penelitian (6) rancangan pengumpulan data (7) rancangan prosedur analisi data
(8) rancangan perlengkapan (9) rancangan pengecekan kebenaran data.
- Memilih lapangan penelitian.
Untuk
memilih lapanan penelitian, cara terbaik yang perlu diperhatikan dalam
penentuan lapangan penelitian ialah dengan jalan mempertimbangkan teori
substantif; pergilah dan jajakilah lapangan untuk melihat apakah terdapat
kesesuaian dengan kenyataan yang berada di lapangan. Keterbatasan geografis dan
praktis seperti waktu, biaya, tenaga, perlu pula dijadikan pertimbangan dalam
menentukan lokasi penelitian.
- Mengurus perizinan.
Mengurus
perizinan sangat diperlukan sekali dalam upaya melaksanakan penelitian. Dalam
mengurus perizinan ini harus mencantumkan tujuan dan manfaat dari penelitian
yang akan dilakukan oleh peneliti. Dengan kata lain peneliti mencantumkan
keinginannya untuk mengadakan penelitian. Izin penelitian ini diperlukan dalam
rangka untuk kepentingan kelancaran penelitian yang akan dilakukan, biasanya
izin ini akan dikeluarkan oleh instansi terkait atau badan yang memiliki
kewenangan atas hal tersebut bahkan izin itu dimintakan di lokasi dimana akan
penelitian itu dilakukan. Karena itu peneliti juga perlu mengetahui siap yang
paling berhak mengeluarkan izin tersebut.
Syarat
lainnya yang perlu dimiliki oleh peneliti adalah terbuka, jujur bersahabat,
simpatik dan empatik, objektif dalam menghadapi konflik , tidak pandang bulu,
berlaku adil dan sikap positif lainnya.
- Menjajaki dan menilai keadaan lapangan.
Hal ini
dimaksudkan agar supaya peneliti tidak bertindak ceroboh dan sesuka hati.
Penjajakan dan penilaian lapangan akan terlaksana dengan baik apabila peneliti
sudah membaca terlebih dahulu dari kepustakaan atau mengetahui melalui orang
dalam hal situasi dan kondisi daerah tempat penelitian dilakukan. Maksuda dan tujuan
penjajakan dan penilaian lapangan adalah berusaha mengenal segala unsure
lingkungan sosial, fisk dan keadaan alam lainnya. Jika penelitia telah
mengenalnya, maksud dan tujuan lanyya ialah untuk membuat peneliti
mempersiapkan diri, mental maupun fisik, serta menyiapkan perlengkapan yang
diperlukan.
- Memilih dan memanfaatkan informan.
Memilih dan
memanfaatkan informan yang ada sangat berguna sekali dalam membantu proses
penelitian yang dilakukan oleh peneliti. Kegunaan informan bagi peneliti adalah
membantu agar secepatnya dan tetap setelti mungkin dapat membenamkan diri dalam konteks setempat terutama bagi peneliti
yang belum mengalami latihan etnografi. Selain itu pemanfaatan informan agar
dalam waktu yang relatif singkat dapat diketahui informasi yang banyak.
Upaya untuk
menemukan informan yang baik dan dapat dipertanggung jawabkan dapat dilakukan
dengan cara, melalui keterangan orang yang berwewenang, melalui wawancara
pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti. Dalam hal tertentu, informan perlu
direkrut seperlunya dan diberi tahu tentnag maksud tujuan penelitian jika
mungkn dilakukan.
- Menyiapkan perlengkapan penelitian.
Penyiapan
perlengkapan penelitian harus dilakukan sesegera mungkin, dengan harapan agar
supaya kebutuhan dari peneliti dapat terpenuhi secara keseluruhan. Peneliti
hendaknya menyiapkan tidak hanya perlengkapan fisik, tetapi segala macam
perlengkapan penelitian yang diperlukan. Yang penting ialah peneliti sejauh
mungkin sudah menyiapkan segala alat dan perlengkapan penelitian yang diperlukan
sebelum ia terjun ke dalam kancah penelitian.
- Persoalan etika penelitian.
Etika
merupakan hal yang paling esensial dalam penelitian, karena baik buruknya hasil
penelitian ditentukan oleh factor ini. Salah satau ciri utama dari penelitian
adalah orang sebagai alat mengumpulkan data. Hal itu dilakukan dalam pengamatan
berperanserta, wawancara-mendalam, pengumpulan dokumen, foto, dan sebagainya.
Seluruh metode itu pada dasarnya menyangkut hubungan peneliti dengan orang atau
subjek penelitian. Karena itu, penting
kiranya bagi setiap peneliti untuk memahami kondisi sosio cultural tempat
dimana penelitian itu dilakukan sehingga sikap etik harus menyertai peneliti
yang disesuaikan dengan kondisi tersebut.
B. Tahap pekerjaan
lapangan.
- Memahami latar penelitian dan persiapan diri.
Pemahaman
teradap latar penelitian diperlukan untuk memasuki pekerjaan di lapangan,
peneliti perlu memahami latar penelitian terlebih dahulu. Disampng itu ia perlu
mempersiapkan dirinya baik secara fisik maupun mental disamping ia harus mengingat
persoalan etika sebagai yang telah diuraikan sebelumnya. Peneliti hendaknya
mengenal adanya latar terbuka dan latar tertutup. Disamping itu, peneliti
hendaknya tahu menempatkan diri, apakah ia sebagai peneliti yang dikenal atau
tidak.
- Memasuki lapangan.
Ketika
seorang peneliti telah memasuki lapangan, maka hendaknya peneliti membina
hubungan berupa rapport, dalam arti hubungan antara peneliti dan subjek yang
diteliti melebur menjadi satu sehingga seolah-olah tidak ada lagi dinding
pemisah di antara keduanya. Dengan demikian subjek dengan sukarela dapat
menjawab pertanyaan atau memberikan informasi yang diperlukan oleh peneliti.
C. Tahap analisa data.
Tahapan
akhir dari prosedur penelitian ini adalah analisa data. Analisa data menurut
Patton adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya dalam suatu
pola, kategori, dan satuan uraian dasar. Analisis data bermaksud pertama-tama
mengorganisasikan data. Data yang terkumpul banyak sekali dan terdiri dari
catatan lapangan dan komentar peneliti, gambar, foto, dokumen berupa laporan,
biografi, artikel. Analisa dalam hal ini mengatur urutan data, memberikan kode
dan mengkategorikannya. Nalisa ini bertujuan menemukan tema dan hipotesis kerja
yang akhirnya diangkat menjadi teori substantif.
Dari sini dapat
ditarik suatu benang merah bahwa analisa data itu dilakukan dalam suatu proses. Proses berarti
pelaksanaannya sudah mulai dilakukan sejak pengumpulan data dilakukan dan
dikerjakan secara intensif, yaitu sesudah meninggalkan lapangan. Dalam hal ini
dianjurkan agar analisa data dan penafsirannya secepat mungkin dilakukan oleh
penulis, jangan sampai menjadi kadaluwarsa, karena dikhawatirkan data-data yang
ada akan hilang atau berantakan, sehingga sangat memungkinkan kualitas data
penelitiannya akan menjadi berkurang dan bahkan tidak sesuai dengan target atau
tujuan dari penelitian yang dilakukan semula.
DAFTAR PUSTAKA
Bertran
Russel, 1974, History of Western Philosophy, London, George Allen dan Unwin.
___________,
1982, Partisipant Opservation in Organizational Setting, Syracuse, N.Y,; Syracuse Universiti
Press.
___________.
dan Sari Knopp Biklen, 1982, Qualitative Research of Education: An
introductions to Theory and Methods, Boston:
Allyn and Bacon, Inc.
Burhanuddin
Salam, 1997, Logika Materil : Filsafat Ilmu Pengetahuan, Rineka Cipta, Jakarta.
_______________,
1988, Logika Formal (Filsafat Berpikir), Bina Aksara, Jakarta.
I.R.
Poedjawijatna, 1986, Logika : Filsafat Berpikir, Bina Aksara, Jakarta.
Julia
Brannen, 1996, Memadu Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif,
Pustaka Pelajar Offset Yogyakarta.
___________,
1997, Memadu Metode Penelitan Kualitatif dan Kuantitatif, Fakultas
Tarbiyah IAIN Antasari Samarinda.
Pustaka Pelajar.
Sudarto,
1997, Metodologi Penelitian Filsafat,
PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Lexy
J. Moleong, 2002, Metodologi Penelitian Kualitatif, PT Remaja
Rosdakarya, Bandung.
Lincoln,
Yvonna Sebagai, dan Egon G. Guba, 1985, Naturalistic Inquiry Beverly Hills :
Sage Publications.
M.
Kasiram, 2003, Strategi Penelitian Tesis Program Magister By
Research, PPS UIIS Malang.
Sudarto,
1997, Metodologi Penelitian Filsafat, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Suharsimi
Arikunto, 2000, Manajemen Penelitian. Rineka Cipta.
Sumartoyo
Harjosatoto dan Endang Daruni Asydi, Pengantar Logika Moder, jilid I, Yogyakarta, Karya Kencana, 1979.
The
Liang Gie, 2000, Pengantar Filasafat Ilmu. Liberty, Yogyakarta.
Tim
Dosen Filsafat Ilmu, 2001, Fakultas filsafat UGM. Filsafat ILmu. Liberty. Yogyakarta.
[1]
Tim Dosen Filsafat Ilmu, 2001, Fakultas filsafat UGM. Filsafat ILmu. Liberty. Yogyakarta, hal: 14
[2]
The Liang Gie, 2000, Pengantar Filasafat Ilmu. Liberty, Yogyakarta,
hal: 61
[3] Ibid,
hal: 57
[6]
Sumartoyo Harjosatoto dan Endang Daruni Asydi, Pengantar Logika Moder, jilid I,
Yogyakarta, Karya Kencana, 1979, h. 16-23
[7]
Burhanuddin Salam, Op Cit, hal : 01.
[8]
Bertran Russel, 1974, History of Western Philosophy, London, George Allen dan Unwin, hal : 206.
[9]
Burhanuddin Salam, 1997, Logika Material Filsafat Ilmu Pengetahuan, Rineka
Cipta, Jakarta,
hal : 97.
[10] ibid,
hal : 62.
[11] ibid, hal : 65.
[12]
Sudarto, 1997, Metodologi Penelitian Filsafat, PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta,
hal : 76
[13] Ibid,
hal : 66.
[14]
Suharsimi Arikunto, 2000, Manajemen Penelitian. Rineka Cipta, hal : 351.
[15]
Julia Brannen, 1997, Memadu Metode Penelitan Kualitatif dan Kuantitatif,
Fakultas Tarbiyah IAIN Antasari
Samarinda. Pustaka Pelajar, hal : 13.
[16]
Sudarto, 1997, Metodologi Penelitian
Filsafat, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal : 62.
[17] Ibid,
hal : 62.
[18]
Burhanuddin Salam, 1997, Logika Materil : Filsafat Ilmu Pengetahuan, Rineka
Cipta, Jakarta,
hal : 192.
[19] Ibid,
hal : 205.
[20]
M. Kasiram, 2003, Strategi Penelitian Tesis Program Magister By
Research, PPS UIIS Malang, hal : 60.
[21] Ibid,
59.
[22] Ibid,
hal : 66.
[23] Ibid,
hal : 60-61.
[24]
Julia Brannen, 1996, Memadu Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif,
Pustaka Pelajar Offset Yogyakarta, hal : 12.
[25]
Bogdon, Robert C, 1982, Partisipant Opservation in Organizational Setting, Syracuse, N.Y,; Syracuse
Universiti Press, hal : 27.
[26]
Lexy J. Moleong, 2002, Metodologi Penelitian Kualitatif, PT Remaja
Rosdakarya, Bandung,
hal : 4-8
[27]
Bogdan, Robert C. dan Sari Knopp Biklen, 1982, Qualitative Research of
Education: An introductions to Theory and Methods, Boston: Allyn and Bacon, Inc, h. 29
[28]
Lincoln, Yvonna Sebagai, dan Egon G. Guba, 1985, Naturalistic Inquiry Beverly
Hills : Sage Publications, hal : 43.
[29]
Lexy Moleong, Op Cit, hal : 85.
Ditulis Oleh : Unknown ~ Amierul El Neymar JR
Sobat sedang membaca artikel tentang Hubungan Antara Filsafat Ilmu Dengan Logika . Dan terimakasih atas kunjungan sobat. Oleh Admin : Sobat diperbolehkan mengcopy paste atau menyebar-luaskan artikel ini, namun jangan lupa untuk meletakkan link dibawah ini sebagai sumbernya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar