BAB I
PENDAHULUAN
Dinamika pendidikan Islam dari masa ke masa patut
dicermati dengan seksama. Apabila dilihat dalam proses sejarah, perkembangan
dan pertumbuhan Pendidikan Islam di Indonesia sangat erat hubungannya dengan
proses Islamisasi dan dakwah yang turun temurun dari generasi ke generasi.
Keberadaan Pendidikan Islam menjadi mediator bagi perkembangan kependidikan
Islam terutama dalam memasyarakatkan nilai-nilai ajaran Islam dalam berbagai
tingkatan dan golongan. Sejarah membuktikan, keberhasilan dan kesuksesan serta
kegemilangan ummat Islam masa lalu tidak terlepas dari kegiatan Pendidikan. Pendidikan
merupakan prasyarat untuk mewujudkan masyarakat yang adil, makmur dan
sejahtera, demikian juga kwalitas suatu bangsa sangat ditentukan oleh peran
serta mutu pendidikan yang dipergunakan oleh bangsa tersebut. Menyadari akan
permasalahan yang tengah terjadi dimasa sekarang ini, dimana sistem pendidikan
tidak mampu menemukan jalan keluar yang terbaik / solusi yang positif. Apa
sesungguhnya yang terjadi dalam sistem pendidikan, bagaimana sesungguhnya cara
yang terbaik dalam menghadapi problematika yang semakin rumit ini.
Berangkat dari kerangka pikiran tersebut, maka
Pendidikan Islam di Indonesia sering kali berhadapan dengan berbagai macam
permasalahan-permasalahan yang menuntut adanya kesungguhan dan kebijaksanaan
dalam menghadapinya. Telah diketahui oleh
kita semua, sebagai sebuah sistem, pendidikan Islam mengandung berbagai komponen, antara satu
dengan lainnya saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan. Komponen yang
dimaksud meliputi : Visi, misi, landasan, tujuan, kurikulum, kompetensi dan
profesionalisme guru, komunikasi guru dan murid, metodologi pembelajaran,
sarana prasarana, manajemen ( pengelolaan ), evaluasi, pembiyaan dan lain
sebagainya. Jika dilihat lebih jauh lagi, komponen-komponen ini seringkali
berjalan apa adanya, alami, tradisional dan dilakukan tanpa perencanaan dan
konsep yang maksimal. Akibat dari itu semua, kwalitas dan mutu pendidikan tidak
sesuai dengan apa yang diharapkan.[1]
Di samping problematika yang berhubungan dengan
komponen tersebut, Al- Qur’an dan As- Sunnah sebagai landasan dasar pendidikan
Islam belum maksimal digunakan sebagaimana mestinya. Akibatnya adalah Visi,
misi serta tujuan pendidikan Islam tidak bisa dirumuskan dengan baik. Visi
pendidikan Islam sesungguhnya adalah mengarahkan dan mewujudkan manusia muslim
yang bahagia di dunia dan makmur diakhirat dan mampu bersaing ditengah zaman yang
semakin kompetitif sekarang ini. Di zaman yang serba instan ini, tujuan
pendidikan Islam seringkali dijadikan sebagai sarana untuk mengais material
tanpa memperdulikan nilai-nilai luhur dari ajaran Islam itu sendiri, sehingga out
put yang muncul adalah manusia yang hanya menguasai ilmu Islam sebagai alat
untuk mencari popularitas saja.
Permasalahan ini semakin di perparah oleh kwalitas
tenaga pendidik yang tidak profesional, sehingga terkadang materi ilmu
pengetahuan hanya tersampaikan secara kognitif saja tanpa diikuti oleh afektif
dan psikomotorik yang mumpuni.[2] Permasalahan fundamental dalam hal ini adalah perekrutan
tenaga akademis hanya karena kebutuhan yang mendesak tanpa mempertimbangkan
sisi akademis dan profesionalitas. Salah satu contoh kasus dalam hal ini, di
daerah Kabupaten Bima dan Kota Bima khususnya, banyak generasi ( pemuda )
mencari jalan pintas untuk menyelesaikan Strata satu dalam waktu yang termat
singkat, malah dalam menyelesaikan tugas-tugas akademik diwakilkan kepada orang
lain, karena hanya ingin menjadi seorang guru yang kemudian mendapat tunjangan SERTIFIKASI
atau dana BOS, Kemudian banyak juga ditemukan sarjana yang tidak berkompeten
dengan konsntrasi keahliannya mengajar mata pelajaran yang bukan kompetensinya,
contoh Sarjana Fisika, Kimia dan Biologi menjagar pelajaran agama dan fikih,
demikian juga Sarjana agama ikut andil juga dalam mengajar mata pelajaran umum.
Namun yang perlu diperhatikan juga dalam proses
perkembangan Pendidikan Islam adalah permasalahan yang ada dalam rancangan
Metodologi Pembelajaran pelajaran yang cenderung dan terkesan tradidional,
sementara harapan yang sesungguhnya diterapkan dalam mencetak peserta didik
menjadi manusia yang siap pakai, seperti peningkatan motivasi, kreativitas,
imajinasi, inovasi dll tidk dilakanakan sebagaimana mestinya.[3] Disamping itu, menurut penulis adalah yang berhubungan
dengan SDM yang kaffah, dana, sarana dan prasarana yang maksimal sampai saat
ini masih terbatas pada lembaga-lembaga tertentu sehingga banyak
lembaga-lembaga kecil yang menampung kegiatan kemasyarakatan tidak diperhatikan.
Dari beberapa masalah tersebut penulis mencoba menguraikan sekaligus mencari
solusi bagaimana sesungguhnya Problematika yang terjadi dalam Pendidikan Islam
sekarang, di samping masalah-masalah tersebut apakah ada masalah besar yang
tengah dialami oleh pendidikan, dengan adanya pengetahuan akan itu semua kita
dapat memetakkannya sehingga ditemukan fakta nyata dalam hal ini.
BAB III
PEMBAHASAN
A.
Problematika Pendidikan Islam
Salah satu
permasalahan penting yang tengah dihadapi oleh Pendidikan Islam sekarang ini,
khususnya di Indonesia adalah rendahnya Mutu Pendidikan, baik dari sisi jenjang
maupun satuannya. Oleh karena itu pendidikan Islam akan tetap eksis dan survive
dan mampu berkembang secara opitimal, apabila mampu menciptakan keunggulan yang
kompetitif sehingga mampu menghadapi persaingan hidup di era globalisasi. Upaya
peningkatan sumber daya manusia baik itu individu maupun masyarakat
merupakan sebuah kebutuhan yang tidak dapat dihindari, terlebih lagi
bangsa Indonesai saat ini menghadapi permasalahan kependidikan yang tengah
berkembang.[4] Namun jika di analisa lebih jauh, ada tiga pokok
permasalahan yang fundamental yang menjadi problematika Pendidikan Islam di
Indonesia,[5] dimana dari ketiga pokok ini melahirkan problema-problema
lainnya, yaitu :
1.
Sruktural
Secara
struktural lembaga-lembaga pendidikan Islam Negeri khususnya berada langsung di
bawah kendali/kontrol Departemen Agama, termasuk di dalamnya
pembiayaan/pendanaan. Jika dianalisa lebih jauh, problema yang muncul adalah
alokasi dana yang dikelola oleh departemen agama selain kecil dan terbatas juga
dipergunakan untuk membiayai berbagai sektor dilingkungan departemen agama termasuk
didalamnya pendanaan biaya pendidikan. Akibat dan dampaknya adalah kekurangan
fasilitas, sarana prasarana, peralatan dan juga terbatasnya upaya-upaya
pengembangan dan peningkatan kegiatan-kegiatan lainnya. Sementara akibat
lainnya adalah ruang gerak pelaksanaan pendidikan begitu sempit disebabkan oleh
keterbatasan, secara otomatis mempengaruhi pengembangan dan peningkatan mutu
pendidikan itu sendiri. Berkenan dengan ini penulis lebih mengedepankan
pendanaan pendidikan ini tidak harus
struktural namun yang perlu di perhatikan lagi adalah objek dan sasaran
pendidikannya ( cost siswa atau mahasiswa ) model seperti ini adalah suatu
idealisme sehubungan dengan pendanaan yang dimaksud
Berkenaan
dengan masalah struktural ini, lembaga-lembaga pendidikan Islam akan
dihadapkan pula dengan persoalan UU No.
22 Tahun 1999 yang berhubungan dengan otonomi daerah. Otonomi daerah merupakan
kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat
yang termasuk didalamnya adalah yang berhubungan dengan pendidikan itu sendiri.
Sehubungan dengan ini adalah bagaimana kebijakan Departemen Agama tentang hal
ini, di satu sisi masalah pendidikan termasuk salah satu dari bagian yang
pengelolaannya diserahkan ke daerah, sementara permasalahan yang berhubungan
dengan agama tetap berada pengelolaaanya di pusat.[6] Ini adalah sebuah permasalahan yang serius yang akan
dihadapi oleh Pendidikan Islam, walaupun pada akhir ini semua kebijakan baru
tengah terlaksana dengan baik. Sehubungan dengan permasalahan itu semua,
penulis lebih mengedepankan pengkajian ulang secara cermat agar supaya melahirkan kebijakan yang tetap
mempertahankan eksistensi lembaga Pendidikan Islam.
2.
Kultural
Yang menjadi permasalahan besar dalam hal ini adalah nasib
lembaga-lembaga pendidikan Islam, seperti pesantren dan madrasah yang masih
banyak melihatnya sebelah mata dengan anggapan bahwa lembaga-lembaga tersebut
merupakan pendidikan “ kelas dua “, Persepsi ini mengarah kepada asumsi-asumsi
yang sangat efektif mempengaruhi masyarakat Muslim memasukkan anaknya ke
lembaga pendidikan tersebut.[7] Mungkin
ada benarnya anggapan tersebut sebagai lembaga pendidikan kelas dua,
indikasinya adalah out put, guru
yang hanya mendapatkan gaji sekedarnya saja, sarana dan fasilitas yang terbatas
dan cukup memprihatinkan. Masalah ini cukup memberikan dampak yang cukup
signifikan bagi masyarakat Muslim yang terdidik dan berpenghasilan baik serta
memiliki kedudukan dan jabatan.
Agar supaya tidak terjadi dikhotomi seperti itu dan pandangan
sebelah mata yang menyudutkan, Azyumardi Azra, menyatakan : “ Pesantren harus
merespon setiap perubahan moderenisasi pendidikan Islam dan perubahan-perubahan
social kapan dan dimana saja, dengan : Pertama, Pembaharuan
substansi atau isi pendidikan pesantren dengan memasukkan subjek umum. Kedua,
Pembaharuan metodologi, seperti sistem klasikal, penjejangan, Ketiga,
Pembaruan kelembagaan dan Keempat, Pembaruan fungsi,
seperti fungsi kependidikan dan fungsi ekonomi.[8]
Dengan demikian jelaslah bahwa pesantren/madrasah tidak boleh
dilihat sebelah mata, akan tetapi lebih
dari itu dengan adanya penyesuaian yang kemudian pada akhirnya diperhatikan,
dan bahkan pada saat ini kembali menampakkan dirinya posisi penting dalam pendidikan
Islam yang masuk kedalam sistem pendidikan nasional Indonesia secara totalitas.
Secara fisik pesantren pada saat ini mengalami kemajuan yang cukup fenomenal,
berkat kemajuan ekonomi ummat muslim, sehingga tidak sulit diketemukan
pesantren-pesantren yang memiliki fasilitas fisik yang megah dan mewah.
Disamping itu juga kesejahteraan guru, baik yang negeri maupun tidak
kedudukannya hampir sama dalam mendapatkan tunjangan Negara.
Adanya perhatian seperti ini tidak lain adalah merupakan bagian
dari kebijakan pemerintah melalui undang-undang No. 2 Tahun 1989 tentang sistem
pendidikan nasional yang merupakan himpunan seperangkat aturan atau ketentuan
yang terpadu dari semua satuan kegiatan kependidikan yang saling berkaitan
antara satu dengan lainnya demi tercapainya pendidikan nasional.[9] Dengan
undang-undang ini, posisi pendidikan Islam
sebagai sub-sistem pendidikan Nasional menjadi kokoh dan mantap, baik di
sekolah-sekolah, perguruan tinggi umum, perguruan tinggi Islam, terlebih lagi
madrasah dan pesantren.
3. Sumber
Daya Manusia
Persoalan sumber daya manusia
( SDM ) merupakan persoalan yang mendasar dan
menjadi penghambat pelaksanaan
sistem pendidikan nasional menuju cita-cita yang diharapkan. Yang menjadi
permasalahan utama dalam mensikapi masalah ini adalah guru. Kualitas out put
dari sebuah sistem pendidikan bersumber dari guru, karena itu kwalitas seorang guru
menjadi titik sentral bagi keberhasilan pendidikan, pendidikan dinyatakan
berhasil apabila melahirkan sumber daya manusia ( SDM ) yang siap pakai,
berkwalitas baik dari sisi inovasinya, kreativitasnya maupun moralitasnya.
Guru sebagai pendidik adalah
sosok manusia yang paling berjasa besar terhadap bangsa dan Negara. Tinggi
rendahnya mutu kebudayaan masyarakat, maju atau mundurnya tingkat kebudayaan masyarakat
bergantung kepada pendidikan dan pengajaran oleh para guru. Makin tinggi
pendidikan guru, maka semakin baik pula mutu pendidikan dan pengajaran yang
diterima oleh anak-anak- karena itu semakin tinggi pula derajat suatu komunitas
( masyarakat ).[10]
Bagaimana sesungguhnya pendidik/guru yang professional dan ideal itu..? baik
dari sudut pandang siswa, orang tua murid, masyarakat ataupun pemerintah.
a. Guru
Sebagai Tenaga Profesional
Abuddin Nata, memaparkan : “ Sebagai pendidik profesional, seorang
guru bukan saja dituntut melaksanakan tugasnya secara professional, tetapi juga
harus memiliki pengetahuan dan kemampuan yang professional. Dalam diskusi
pengembangan model pendidikan professional tenaga kependidikan yang di
selenggarakan oleh PPS IKIP Bandung Tahun 1990, dirumuskan 10 ciri sebuah
profesi, yaitu : (1). Memiliki fungsi dan signifikansi social; (2). Memiliki
keahlian dan keterampilan tertentu; (3). Keahliannya di peroleh dengan
mengunakan metode san teori ilmiah;(4). Didasarkan atas ilmu yang jelas; (5).
Diperoleh dengan pendidikan dalam masa tertentu yang cukup lama;(6). Aplikasi
dan sosialisasi nilai-nilai professional;(7). Memiliki kode etik;(8). Kebebasan
untuk memberikan judgement dalam memecahkan masalah dlm lingkungan
kerjanya;(9). Memiliki tanggung jawab professional dan otonomi; dan (10). Ada
pengakuan dari masyarakat atas layanan profesinya.[11]
Muhammad Surya juga mengemukakan, adapun citra guru diharapkan
sebagai pendidik yang professional antara lain,[12]Yaitu :
a.
Guru yang memiliki semangat juang yang tinggi
yang di sertai dengan kwalitas keimanan dan ketaqwaan yang mantap.
b.
Guru yang mampu memwujudkan dirinya dalam
keterkaitan dan padanan dengan tuntutan lingkungan dan perkembangan IPTEK.
c.
Guru yang mampu bekerjasama dengan profesi
lain.
d.
Guru yang memliki etos kerja yang kuat karena
ini merupakan landasan utama bagi kinerja semua aparat dalam berbagai jenis
jenjang pendidikan.
e.
Guru yang memiliki kejelasan dan kepastian
pengembangan karir. dan
f.
Guru yang berjiwa professional yang tinggi
Dari
beberapa ciri dan tipe profesionalisme guru tersebut ditujukan untuk profesi
pada umumnya, maka secara khusus dapat di rangkum dalam 3 pokok :
Pertama,
Seorang guru yang professional harus
menguasai bidang ilmu pengetahuan yang akan diajarkanya dengan baik, ia
benar-benar seorang ahli dalam bidang ilmu yang diajarkannya, sekaligus
mengembangkannya melalui penelitian dengan mebggunakan berbagai macam metode sehingga
tidak ketinggalan zaman.
Kedua,
Seorang guru yang professional harus memiliki kemampuan menyampaikan dan
mengajarkan ilmu yang dimilikinya ( Transfer of Knowledge ) kepada
murid-murid secara efisien dan efektif. Untuk ini seorang guru harus memiliki
ilmu keperguruan baik itu Pedagogik, Didaktik, dan Metodik dll.
Ketiga, Seorang
guru yang profesionalharus berpegang teguh kepada kode etik professional dalam
hal ini adalah memiliki akhlak yang mulia karena dia dijadikan panutan dan
contoh serta teladan.
b. Peranan
Guru Dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan
Menurut JJ. Hasibuan, Sistem yang memungkinkan proses belajar
mengajar adalah sistem lingkungan yang
terdiri dari komponen-kokmponen yang saling mempengaruhi, Tujuan Instruksional
yang hendak dicapai, Materi yang diajarkan, guru dan siswa yang memainkan
peranan serta dalam hubungan social tertentu, jenis kegiatan yang dilakukan,
serta sarana dan prasarana belajar mengajar yang tersedia.[13]
Apabila semua komponen pendidikan dan pengajaran tersebut
dipersiapkan dengan sebaik-baiknya, maka mutu penddidikan dengan sendirinya akan maju dan meningkat.
Namun apabila dilihat secara khusus dari beberapa komponen tersebut, maka guru
merupakan komponen utama. Jika gurunya berkualitas baik maka pendidikan pun
akan baik pula. Sebaliknya kalau tindakan guru dari hari kehari makin memburuk
maka akan semakin parahlah keadaan pendidikan kita. ” Dalam hubungannya dengan
keterampilan mendidik, maka guru harus mampu melaksanakan inspiring teaching,
artinya guru yang melalui kegiatan mengajarnya mampu mengilhami murid-muridnya.”[14] Mengilhami
disini bermaksud bahwa guru mampu mendekati murid-muridnya dengan penuh kasih
saying sebagiamana seorang ibu menyayangi anaknya yang setiap saat dia selalu
memahami kebutuhan mereka baik pada saat suka maupun duka, jika pribadi guru
seperti ini jiwa murid akan terdidik dan secara otomatis kegiatan belajar
mengajar akan semakin kondusif karena murid dihargai dan diberi kebebasan untuk
bereksistensi tanpa ada penekanan.
c. Problematika
Yang Dihadapi Guru Sekarang Ini
Guru sebagai bagian dari urusan yang terpenting dalam pendidikan
dewasa ini, dimana mereka memegang peranan yang cukup penting dalam
pengembangan sumber daya manusia, terkadang mendapat berbagai macam
problematika-problematika yang terkadang berakibat kepada kurang dan melorotnya
semangat dalam mencetak sumber daya yang kreatif dan mumpuni. Siapapun tidak
ada yang bisa memungkiri bahwa mereka memegang peranan yang cukup signifikan
dalam menentukan nasib generasi, masalah ini telah disepakati oleh berbagai pihak,
pribadi maupun pejabat dalam berbagai kesempatan dan keadaan. Namun dalam
kenyataannya, guru tetap terabaikan dalam perwujudan keberadaannya sebagai
insan pendidikan. Guru lebih banyak memperoleh perlakuan sebagai sasaran/objek
administrasi dan birokratis, sehingga terkadang terpasung dan tidak berkembang.[15]
Fakta dan surfei membuktikan, beberapa waktu yang telah lalu
tepatnya pada bulan 15 januari 2010, penulis merasakan langsung bagaimana
ribuan guru melakukan demonstrasi dalam menuntut hak-haknya kepada pemerintah
Kota Bima, dengan meminta keadilan dan pertanggungjawaban atas janji yang telah
disampaikan oleh Walikota mengenai kesejahteraan selama tiga ( 3 ) bulan yang
belum terbayarkan. Tanggapan Pemerintah pada saat itu begitu sinis dan tidak
memuaskan, dengan alasan yang bermacam-macam, sehingga keringat sebulan, dua
bulan atau sampai tiga bulan terurai begitu saja. Dari sini dapat kemukakan
satu ungkapan, bahwa cukup jelas, bahwa guru hanya dijadikan sebagai alat
pelengkap administrasi dan birokrasi, artinya ketika pemerintah pusat meminta
pendataan bagaimana situasi dan kondisi guru, jumlah mereka dalam satu daerah,
seketika juga pemerintah daerah menguras tenaganya mendata ulang nasib dan
jumlah guru dan langsung dikirim ke pusat, terpenuhilah administrasi. Dengan
terpenuhinya administrasi tersebut membuka jalan dan peluang yang sangat
berarti bagi pemerintah mengeluarkan dana kesejahteraan guru, dari sini
melahirkan birokrasi yang kuat antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat.
Sebagai akademisi kita telah keatahui, berbagai upaya pembaharuan
pendidikan dari waktu ke waktu telah banyak dilakukan melalui perbaikan sarana
prasarana, penyempurnaan aturan, pembaharuan kurukulum, pembuatan proposal
dengan berbagai macam model dan rupa dengan bahasa yang menyentuh perasaan
dilayangkan, namun belum sampai memptioritaskan guru sebagai pelaksana
ditingkat instruksional terutama dari sisi aspek kesejahteraannya. Manajemen Sumber
Daya Manusia ( SDM ) guru yang mencakup rekrutmen, pendidikan, pengangkatan,
peneglolaan, pembinaan dan lainnya masih belum memberikan kenyamanan bagi guru
dan selalu menimbulkan berbagai kendala yang cukup serius. Tanpa
mengenyampingkan dan mengabaikan usaha nyata yang telah dilakukan oleh
pemerintah terhadap guru dengan berbagai hasilnya, masih dapat kita katakan bahwa
sudah lebih dari setengah abad Indonesia merdeka, kondisi guru masih belum
memenuhi standar minimal.[16]
Keberadaan kebijakan kesejahteraan guru melalui, sertifikasi, BOS
dan lain-lainnya baru dilaksanakan setelah begitu jauh Indonesia merdeka. Dari
sini penulis berasumsi, Negara Indonesia yang yang sangat kaya dengan alamnya
yang nan luas ini dengan hamparan pepohonan yang membentang luas dari ujung
barat sampai ujung timur yang menghasilkan gas alam yang cukup banyak, lautan
yang membentang luas dengan hasilnya yang luar biasa, sebuah Negara yang
menjadi SURGA bagi dunia, tidak mampu memanaj, mengelola dengan baik dan benar.
Jika kekayaan Negara ini dikelola dengan baik, penulis yakin dan percaya
kesejahteraan guru dan rakyat pasti akan terjamin.
Kalau kesejahteraan guru terpenuhi Sumber Daya Manusia ( murid ) pasti
akan maju, apabila permasalahan ( Problematika ) tersebut terus berlanjut, maka
otomatis akan tetap berpengaruh terhadap kinerja para guru yang “ katanya “
sebagai ujung tombak dunia pendidikan. Mungkin memang benar alunan puisi yang
terucap dari suara hati guru, bahwa mereka adalah “ Pahlawan Tanpa Tanda Jasa Dari
beberapa uraian tersebut dapat ditarik satu kesimpulan bahwa keberhasilan
pendidikan hampir seratus ( 100 ) persen ditentukan oleh mutu profesionalisme
seorang guru. Guru yang profesional bukanlah guru yang pandai mengajar
melainkan lebih dari itu dia mampu mendidik. Untuk itu selain harus menguasai
ilmu yang diajarkan dan cara mengajarkannya dengan baik mereka juga harus
memiliki akhlak yang mulia, meningkatkan ilmu pengetahuannya dari waktu ke waktu
sesuai dengan perkembangan zaman. Dengan demikian seorang guru tidak hanya
menjadi sumber informasi, akan tetapi juga dapat menjadi motivator,
inspirator, dinamisator, fasilitator, evaluasitator dan sebagainya.
Sebagaimana pembahasan sebelumnya, bahwa tiga pilar
permasalahan/problematika baik dari sisi Structural, Kultural dan Sumber Daya
Manusia, memunculkan berbagai permasalahan-permasalahan fundamental lainnya.
Burlian Somad,[17]
mengemukakan problematika yang dimaksud :
1. Ketidak
Jelasan Tujuan Pendidikan
Dalam undang-undang nomor 4
tahun 1950, telah dikemukakan secara detail tentang tujuan pendidikan dan
pengajaran yang pada intinya, “ Ialah untuk membentuk manusia yang
berkwalitas dan susila serta cakap dan warga Negara yang demokratis serta
bertanggung jawab tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah air berdasarkan
pancasila dan kebudayaan kebangsaan Indonesia”[18]. Jika
dianalisa lebih jauh tujuan tersebut masih sangat jauh dari harapan, dalam
kenyataannya yang terjadi dalam tujuan pendidikan yang sangat ideal itu belum
mampu menghasilkan manusia-manusia sebagaimana yang dimaksud. Yang ada hanyalah
tumpukan harapan dan terangkum dalam
tujuan yang tidak berarti. Tujuan tersebut telah terbalik dengan kemorosotan
moral generasi yang semakin menjadi-jadi baik itu civitas akademika maupun non
akademik, kehidupan yang tidak demokratis, kekacauan akibat konflik dimana-mana,
semakin meningkatnya tindak kriminal, kekerasan, anrchisme, premanisme,
konsumsi minuman keras dan narkoba yang sudah melanda kalangan pelajar dan
mahasiswa, hubungan bebas ( free sex ), pengangguran, anak terlantar
yang belum megenyam manisnya pendidikan, KKN melanda berbagai insttitusi, dan
masih banyak problematika lainnya.
Permasalahan ini merupakan
sebuah indikasi yang sangat kuat bahwa tujuan pendidikan selama ini belum bisa dikatakan
berhasil, sehingga berkemungkinan besar adanya ketidakjelasan dan kekaburan
dalam memahami tujuan pendidikan yang sebenarnya. Yang salah apakah pelakana
pendidikan, pengambil kebijakan atau kesalahan bersama seluruh masyarakat
Indonesia pada umunya…? Dalam hal ini Muhaimin, membantah bahwa :” Masalah
dekadensi moral telah dirasakan sangat mengglobal seiring dengan perubahan tata
nilai yang sifatnya mendunia. Dibelahan Bumimanapun kerap kali dapat disaksikan
gaya hidup yang bertentangan dengan etika nilai-nilai agama. Berbagai
pendekatan telah dan sedang dilakukan untuk menyelamatkan masa depan peradaban
manusia dari rendahnya perilaku moral, pentingnya pendidikan akhlak khususnya
tidak hanya dapat dirasakan oleh masyarakat yang mayoritas penduduknya muslim
saja melainkan sudah di tetapkan diberabagai Negara.[19]
2. Ketidak
Serasian Kurikulum
Sebagaimana kita ketahui,
selama proses kependidikan itu berlangsung, maka selama itu pemikiran dan
pengembangan kurikulum pendidikan berlangsung, sampai menghasilkan
tipologi-tipologi pemikiran kurikulum yang memiliki nilai positif. Namun
melihat kebanyakan kurikulum yang dipergunakan di sekolah-sekolah sekarang ini
masih terikat dengan mata pelajaran yang beraneka ragam, dengan jumlah jam mata
pelajaran dan buku pegangan setiap mata pelajarannya. Akibat dari beragamnya
mata pelajaran yang banyak berpengaruh kepada pengajaran yang tidak efektif
yang hanya menanamkan teori-teori pengetahuan saja ( Kognitif )
sementara Afektif dan Psikomotorik. Akibatnya para lulusan ( Out
Put ) yang dihasilkan tidak siap pakai dan lebih banyak sebagai penonton
daripada beraksi dan berbuat akibat dari minimnya keterampilan yang dimiliki
serta tidak mempunyai kemampuan untuk
berproduktifitas ditengah-tengah masyarakat.
Ada beberapa ungkapan yang
menyatakan bahwa muatan-muatan kurikulum yang ada dan yang diterima di sekolah sekarang
ini memang tidak dipersiapkan untuk menjadi lulusan ( peserta didik ) yang
dapat bermandiri di tengah-tengah masyarakat karena muatan yang ada lebih
kepada Kognitifnya saja.[20] Pernyataan
ini memang benar adanya melihat out put ( Sarjana ) khususnya di
beberapa daerah lebih banyak menganggur daripada melakukan kreasi inofasi dan
mengabdi kepada masyarakat. Kalau muatan kurikulum tidak memiliki standar isi
dan tujuan yang hendak dicapai, sehingga melahirkan out put yang tidak mandiri,
penulis rasa tidak logis. Karena semua muatan-muatan kurikulum memiliki
strategi dan sasaran yang ingin dicapai, yang perlu di perhatikan disini adalah
muatan kurikulum jangan sampai mengedepankan sisi pengajarannya saja akan
tetapi harus melihat kondisi ril yang ada di tengah-tengah masyarakat.
3. Ketiadaan
Tenaga Pendidik Yang Tepat dan Cakap
Sebagaimana penulis kemukakan
pada muqaddimah makalah ini, bahwa masih banyak ditemukan guru yang mengajar mata pelajaran yang
bukan spesifikasi keilmuannya, yang hanya mencari dan menambah sekolah lagi
dengan mengikuti program Akta Empat saja. Ini adalah merupakan masalah besar
yang wajib ditanggulangi. Ini adalah pertanda buruk betapa rendahnya kwalitas
tenaga kependidikan yang ada. Padahal menugaskan dan mendudukkan sesorang
sebagai pendidik yang tidak dibina atau dibekali dengan ilmu pendidikan yang
bukan bidangnnya, sangat berakibat fatal bagi anak didik dan lainnya.
Pemborosan biaya, terjadinya kemerosotan mutu pendidikan, pada akhirnya muncul
generasi-generasi yang memiliki kwalitas rendah dan tidak mampu bersaing dalam
kehidupan masyarakat. Jelasnya tanpa adanya pengukuran yang objektif dapat
dipastikan tidak tidak akan pernah terwujud tujuan pendidikan sebagaimana yang
tertera dalam kurikulum.
4. Adanya
Pengukuran yang Salah Ukur
Evaluasi atau pengukuran hasil belajar yang disebut ujian adalah
merupakan bagian dari komponen kurikulum sehingga dapat diketahui hasil
sebagaimana yang ada dalam KD / DK / dan indikator-indikator. Fakta yang
terjadi adalah adanya ketidakserasian antara angka-angka yang diberikan kepada
anak didik sering tidak objektif. Dimana angka-angka atau nilai-nilai yang
tinggi itu sama sekali tidak sepadan dengan mutu / rill dari peserta itu
sendiri, ketika mereka terjun ke masyarakat
tidak mampu berbuat sesuai dengan keilmuan yang menjadi kompetensinya.
Jelasnya tanpa adanya pengukuran yang objektif dapat dipastikan tidak akan terwujud tujuan pendidikan yang
sebenarnya sebagaimana yang tertera dalam kurikulum.
5. Adanya
Kekaburan Landasan Tingkat-tingkat Pendidikan
Dalam salah satu informasi
diketahui bahwa sudah bertahun-tahun penjenjangan tingkat pendidikan tidak
pernah ditinjau kembali, mulai dari tingkat dasar sampai ke tingkat perguruan
tinggi.[21] Yang
menjadi pertanyaan adalah apakah hasil penjenjangan selama ini didasarkan atas
tingkat penjenjangan fisik atau psikis anak didik atau hanya sekedar terjemahan
dari tingkat-tingkat pendidikan yang dipakai umum di seluruh dunia, kalau
memang ini masalahnya, kondisi anak didik kita selama ini jelas jauh
perbedaannya dengan kondisi di Negara-negara lainnya di dunia sehingga mustahil
apabila diadakan semacam persamaan.
Setelah mencermati berbagai
macam problematika tersebut, dari sini dapat dimaklumi bahwa permasalahan yang
dihadapi oleh pendidikan Islam sekarang ini begitu kompleks mulai dari
permasalahan pendanaan atau biaya, pandangan sosio cultural akan keberadaannya,
sampai kepada permasalahan kurikulum yang belum mampu menunjukkan hasil yang
diinginkan. Di samping problematika-problematika yang digambarkan diatas,
berbagai persoalan juga, tengah dihadapi oleh pendidikan Islam yang menyebabkan
pendidikan Islam tertinggal jauh oleh lembaga-lembaga pendidikan lainnya, baik
itu secara kuantitatif maupun kualitatif sehingga pendidikan Islam terkesan
sebagai pendidikan “ Kelas dua “. Sehingga tidak heran jika kemudian begitu
banyak generasi Muslim yang menempuh pendidikannya di lembaga pendidikan non-
Islam.
Ketertinggalan pendidikan
Islam dari lembaga pendidikan lainnya,
disikapi oleh Azyumardi Azra setidaknya disebabkan oleh beberapa factor, yaitu
:
1.
Pendidikan Islam sering terlambat merumuskan
diri untuk merespon perubahan dan kecenderungan masyarakat sekarang dan akan
datang.
2.
Sistem pendidikan Islam kebanyakan masih lebih
cenderung mengorientasikan diri pada bidang-bidang humaniora dan ilmu-ilmu
social ketimbang ilmu eksakta, seperti fisika, kimia, biologi dan matematika
moderen.
3.
Usaha pembaharuan pendidikan Islam sering
sepotong-sepotong dan komperehensif sehingga tidak terjadi perubahan yang
esensial.
4.
Pendidikan Islam tetap berorientasi pada masa
silam ketimbang berorientasi ke masa depan atau kurang bersifat future
oriented.
5.
Sebagian pendidikan Islam belum dikelola secara
professional baik dalam penyiapan tenaga pengajar, kurikulum maupun pelaksanaan
pendidikannya.[22]
Ummat Islam terlanjur lalai
dan terlena dengan keberhasilan dan kegemilangan masa lalu sehingga membuat
mereka mengabaikan proses perkembangan yang terjadi di era moderen sekarang dan
masa datang, mengikuti arus perkembangan zaman adalah sebuah keharusan bagi
siapapun terlebih lagi dalam hubungannya dengan kependidikan, mengingat
pendidikan sesungguhnya sebagai suatu proses menuju perbaikan dan pengembangan
peradaban manusia khususnya peradaban Islam. Mengabadikan Perenial
Esensialis-salafi dan Perennial Esensialis-Mazhabi dalam muatan
kurikulum pendidikan Islam adalah suatu keharusan karena mempertahankan
nilai-nilai salaf dalam kehidupan ummat muslim, sebuah kehidupan yang ideal.
Namun idealisme yang seharusnya adalah memadukan keduanya itu dengan perennial
esensialis-Rekonstruksi Sosial, yang memiliki sikap dinamis, juga proaktif
dalam menghadapi perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi, tuntutan
perubahan dan berorientasi ke masa depan, ia sangat merespon tuntutan-tuntutan
yang ada pada masa sekarang dan masa akan datang.[23] Kelima
factor tersebut sebetulnya tengah dijawab oleh model Rekonstruksi Sosial,
artinya ketertinggalan yang terjadi pada saat ini bukan permasalahan yang
membuat pendidikan Islam terpuruk melainkan membuat pendidikan Islam tetap
menampakkan jatidirinya sebagai Rahmatan Lil’alamin.
Terkait dengan ketertinggalan
pendidikan Islam dewasa ini, menurut Muhaimin, dikarenakan oleh terjadinya
penyempitan terhadap pemahaman pendidikan Islam yang berkisar pada aspek
kehidupan ukhrawi yang terpisah dengan kehidupan duniawi atau aspek kehidupan
rohani terpisah dengan jasmani. Menganalisa pendapat ini, terlihat dan
tampak adanya pembedaan dan pemisahan antara yang dianggap agama dan bukan
agama, antara dunia dengan akhirat, cara pandang seperti ini disebut Dikotomik.
Adanya dikotomik seperti inilah yang menyebabkan ketertinggalan Pendidikan
Islam, sampai pada saat ini pendidikan Islam masih memisahkan antara akal dan
wahyu dll. Permasalahan ini menyebabkan ketidakseimbangan paradigmatic yang
menyebabkan kurangnya memaknai konsep humanisme religious dalam dunia
pendidikan Islam, karena pendidikan Islam lebih berorientasi pada konsep ‘Abdullah”
ketimbang sebagai konsep “ Khalifatullah “.
Di samping itu juga orientasi
pendidikan Islam yang saling timpang tindih melahirkan permasalahan besar dalam
dunia pendidikan, mulai dari persoalan filosofis, hingga persoalan metodologis,
selain itu juga pendidikan Islam menghadapi masalah serius berkaitan dengan
perubahan masyarakat yang semakin cepat. Terlebih lagi perkembangan ilmu
pengetahuan hampir-hampir tidak memperdulikan lagi sistem dan norma agama.
Melihat kondisi sekarang ini, pendidikan Islamberada pada posisi realism, dalam
arti ummat Islam tengah berada pada Romantisme sejarah masa lalu, di
mana mereka bangga karena memiliki pemikir-pemikir yang handal dan ilmuan besar
serta memiliki konstribusi yang luar biasa bagi pembangunan peradaban manusia
dan ilmu pengetahuan, namun kenyataan lain adalah bahwa pendidikan Islam tidak
berdaya ketika dihadapkan kepada realitas masyarakat industry dan tekhnologi
moderen. Hal ini pun didukung oleh pandangan sebagian ummat Islam yang kurang meminati ilmu umum dan malahan
ada yang sampai “ Mengharamkan “ Hal ini pasti memiliki dampak yang cukup besar
pada pembelajaran dan pendidikan Islam dalam menyongsong zaman yang serba
kompetitif masa akan datang.
BAB III
KESIMPULAN
Problematika pendidikan Islam adalah persoalan-persoalan atau permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh
dunia pendidikan Islam, yang permasalahan
pokoknya, adalah :
1.
Problema Struktural, didalamnya mencakup
permasalahan biaya / pendanaan
2.
Problema Kultural, pandangan sebelah mata akan
keberadaan pendidikan Islam
3.
Problema Sumber Daya Manusia, permasalahan
kecakapan dan kompetensi / keahlian
Dari ketiga permasalahan ini
melahirkan berbagai macam problema-problema dan persoalan-persoalan lainnya,
yaitu :
1.
Ketidak
Jelasan Tujuan Pendidikan
2.
Ketidak
Serasian Kurikulum
3.
Ketiadaan Tenaga Yang cakap dan handal
4.
Adanya pengukuran yang salah ukur
5.
Adanya Kekaburan Landasan Tingkat Pendidikan
Di samping permasalahan
tersebut, yang tengah dihadapi oleh pendidikan Islam sekarang juga adalah masih
ditemukannya cara pandang yang berbeda, yang memisahkan antara agama dan umum,
dunia dan akhirat, yang sacral dan yang profan, malah sampai pada saat ini
pemisahan antara akal dan wahyu masih gencar dibicarakan. Belum lagi
permasalahan filosofis dan metodologis yang masih membutuhkan perjuangan dan
keuletan dalam memahami dan mengembangkannya.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Zainal, Memperkembang dan
Mempertahankan Penddidikan Islam Di Indonesia, Jakarta : PT. Bulan Bintang,
1970
Azra, Azyumardi, Pendidikan Islam Tradisi
dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Jakarta : PT. Logos Wacana Ilmu,2002
Hasan, Ali Mukti, Kapita Selekta Pendidikan
Islam, Jakarta : Pedoman Ilmu Jaya, 2003
Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam,
Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1996
Muhaimin, Arah Baru Pengembangan Pendidikan
Islam : Pemberdayaan, Pengembangan
Kurikulum
Hingga Redefinisi Islamisasi Pengetahuan,
Jakarta : Yayasan Nusa Cendekia, 2003
Mansyur, Mahfuzd Junaidi, Rekonstruksi
Sejarah Pendidikan Islam Di Indonesia, Jakarta : Derektorat Jenderal Kelembagaan Islam, 2005
Meichati, Siti, Pengatar Ilmu Pendidikan,
Jogjakarta : FIP-IKIP, 1980
Muhaimin, Arah Baru Pengembangan Pendidikan
Islam : Pemberdayaan, Pengembangan Kurikulum
Hingga Redefinisi Islamisasi Pengetahuan, Jakarta : Yayasan
Nuansa Cendekia, 2003 Muhaimin,
Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam : Di Sekolah, Madrasah dan Perguruan Tinggi, Jakarta :
PT. Raja Grafindo Persada, 2009 Muhaimin,
Rekonstruksi Pendidikan Islam : Dari Paradigma Pengembangan, Manajemen Kelembagaan, Kurikulum Hingga Strategi
Pembelajaran, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada 2009
Nata Abuddin, Manajemen Pendidikan :
Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam Di Indonesia, Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2008 Noer Husen, S. Manzier, Watak Pendidikan
Islam, Jakarta : Friska Agung Insani, 2003 PT. Logos Wacana Ilmu,2002
[1] Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan : Mengatasi Kelemahan
Pendidikan Di Indonesia, Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2008, hal 1
[3] Hery Noer, Munzir, Watak Pendidikan Islam, Jakarta : Friska
Agung Insani, 2003, hal 108
[4] M. Mahfud, Direktorat Kelembagaan Agama Islam, Rekonstruksi
Sejarah Pendidikan Islam Di Indonesia, Jakarta : 2005, hal 163
[5] Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam Di Indonesia,
Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1996, hal 155
[6] Yamin Martinis, Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta : Logos,
2000, hal 156
[7] Ada beberapa kasus yang pernah terjadi dalam hal ini, sebagaimana
yang pernah penulis alami, a. Masyarakat masih banyak yang menganggap
pesantren/madrasah kelas dua, surfei membuktikan, di salah satu pesantren yang
berada di tengah kota, siswa yang belajar 100 porsen berasal dari daerah
pedalaman, sementara anak-anak kota lebih condong ke sekolah Negeri. b. Ada
kebanyakan orang tua di setiap mendaftarkan anak-anaknya, menanyakan : “apa
yang akan didapat oleh anak-anak kami di pesantren/.madrasah, bisakah anak kami
nanti menjadi pegawai Negeri atau tentara, dll.
[8] Azyumardi Azra, Pendidikan Islam : Tradisi dan Modernisasi
Menuju Milenium Baru, Jakarta :PT. Logos Wacana Ilmu, 2002, hal 105
[9] Haidar Putra Dauly, Historisitas Pendidikan Islam, Jakarta :
Wacana Ilmu, 1993, hal 50
[10] Ali Hasan, Mukti Ali, Kapita Selekta Pendidikan Islam,
Jakarta : Pedoman Ilmu Jaya, 2003, hal 81-82
[11] Abuddin Nata, Op. Cit, hal 156
[12] Muhammad Surya, Citra Baru Guru Di Era Reformasi Menuju
Indonesia Baru : Makalah Dalam Seminar di IKIP Jakarta Tanggal 17
Desember 1998
[13] JJ. Hasibuan, dkk, Proses Belajar Mengajar, Bandung : Remaja
Rosdakarya, 1993, hal 3
[14] Abuddin Nata, Op. Cit, hal 160
[15] M. Ali Hasan, Mukti Ali, Op.Cit, hal87
[16] Ibid, hal 105
[17] Burlian Somad, Beberapa Persoalan Dalam Pendidikan Islam,
Bandung : PT. Al- Ma’arif, 1978, hal,
101-105
[18] Meichati, Pengantar Ilmu Pendidikan, Jogjakarta : Penerbit :
FIP-IKIP, hal 135
[19] Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam : Di Sekolah,
Madrasah, dan Perguruan Tinggi, Jakarta : Penerbit Raja Grafindo Persada,
2009, hal 21.
[20] Zainal Abidin, Memperkembangkan dan Mempertahankan Pendidikan
Islam Di Indonesia, Jakarta : PT. Bulan Bintang, 970, hal 15
[21] Ibid, hal 20
[22] Azyumardi Azra, Op. Cit, hal 110
[23] Muhaimin, Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam :
Pemberdayaan, Pengembangan Kurikulum hingga Redefinisi Islamisasi Pengetahuan,
Bandung : Yayasan Nuansa Cendekia, 2003, hal 43
Ditulis Oleh : Unknown ~ Amierul El Neymar JR
Sobat sedang membaca artikel tentang Makalah Kawasan Probematika Pendidikan Islam. Dan terimakasih atas kunjungan sobat. Oleh Admin : Sobat diperbolehkan mengcopy paste atau menyebar-luaskan artikel ini, namun jangan lupa untuk meletakkan link dibawah ini sebagai sumbernya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar