Makin dekat saat Pemilu 2004 maka ‘hawa politik’ makin
meningkat tajam hangatnya. Bahkan nanti akan terasa makin panas. Kalau tidak
hati-hati menangani, dapat menyala betulan.
Di
tengah-tengah makin menghangatnya ‘hawa politik’ ini ada yang berani masuk dan
menghirup ‘hawa politik’ itu dengan penuh semangat, ada yang ragu-ragu, dan ada
pula yang menjauh atau malahan lari dari politik. Yang berani masuk ke politik
adalah para aktivis, baik aktivis rutin maupun kambuhan. Yang ragu-ragu adalah
penagamat atau mereka yang berlagak menjadi pengamat sedang yang menjauh atau
lari dari politk biasanya adalah mereka yang pernah terluka akibat pertarungan
politik, atau mereka yang sejak semula memang tidak percaya pada politik
sebagai solusi.
Dalam kenyataan, politik memang dapat menjadi solusi,
tetapi dapat juga malahan menjadi sumber masalah. Hanya saja penulis
berpendapat kalau potensi politik sebagai solusi jauh lebh besar ketimbang
sebagai sumber masalah. Dan yang penting, mau tidak mau kita musti akan
berhadapan dengan politik dalam banyak kesempatan, kejadian dan dalam banyak
kasus.
Salah satu potensi solusi dari politik adalah, dalam
banyak hal, ternyata politik itu dapat menjadi alat untuk memperbaiki
kehidupan, termasuk kehidupan bersama kita semua. Dalam bahasa populer di
kampus, politik dapat menjadi tangga atau jalur bagi mereka yang ingin
melakukan mobilitas sosial. Kita melihat dalam berbagai kasus di dunia, ada ibu
rumah tangga dapat ,menjadi presiden karena mau berpolitik, ada dosen menjadi
presiden juga karena berpolitik, ada
tukang parkir menjadi walikota, ada guru menjadi bupati dan pedagang menjadi
walikota atau gubernur juga karena berpolitik.
Di masa lalu banyak orang yang percaya bahwa salah
satu jalur atau tangga yang dapat diperguakan untuk melakukan mobilitas sosial
adalah pendidikan. Salah satu tokoh yang percaya dengan hal ini adalah Prof Dr Kuntowijoyo. Dalam salah satu
pidatonya yang memukai banyak orang,
Prof Kuntowijoyo mengatakan yang dapat mengubah diri dan keluarganya adalah
karena pendidikan. Kalau tidak ada pendidikan barangkali dirinya sekarang masih
angon kebo.
Lalu ada yang berpendapat kalau ekonomi dapat menjadi
jalur untuk melakukan moblitas sosial. Ini juga betul. Banyak orang yang semula
dikenal sebagai orang yang melarat, tetapi karena mau bekerja keras ia kemudian
sukses. Salah satu orang yang pernah memimpin maskapai penerbangan Garuda
semula hanya pegawai biasa, ada seorang
penjual rokok yang kemudian menjadi pemilik toko buku terkenal, dan di Yogya
ada tukang becak yang sekarang menjadi juragan becak dan hidupnya makmur.
Karena
ekonomi dapat menjadi lantaran atau jalur untuk melakukan mobilitas
sosial inilah maka dulu Prof Mubyarto pernah menelurkan konsep bagaimana
mengangkat Desa Tertinggal dengan proyek IDT yang terkenal itu. dan seorang
profesor yang lain malahan membuktikan bagaimana koperasi desa dapat mengubah
petani menjadi lebih makmur.
Nah, yang tersedia di depan mata kita sekarang adalah
jalur politik. Sebagai jalur untuk memperbaiki kehidupan sudah jelas tidak
dapat diragukan lagi. Untuk ini penulis sepakat dengan Prof Nakamura yang
mengatakan bahwa Muhammadiyah dalam Pemilu 2004 nanti hendaknya mau menjadi
wasit. Itu bagus (SM,24/88/2003). Sebagai lembaga maka Muhammadiyah
sudah pas kalau berada pada posisi wasit. Meski demikian agar warga
Muhammadiyah mahir dan memiliki pengalaman sebagai pemain politik maka tidak
salah juga kalau Muhammadiyah menganjurkan agar warga dan kadernya mau terjun
dan ikut bermain dalam politik, tentu saja dengan tetap menjunjung tinggi fair
play dan patuh aturan. Sebab dengan makin banyaknya kader persyarkatan yang
terjun di politik, lewat berbagai partai atau lewat pencalonan perorangan maka
di legislatif nanti Muhammadiyah akan okeh kancane atau banyak temannya.
Dan sebagai negara dan bangsa yang menganut demokrasi
di mana parlemen menduduki posisi penting, dan eksekutif yang dipilih langsung
juga penting maka banyaknya kader yang hadir dan eksis di dua lembaga itu akan
sangat menguntungkan. Sebab kalau kita ingin mempengaruhi keputasan tentang
kebijakan publik maka suara dari kita dapat lebih banyak. Demikian jka akan
bertindak sebagai pengambil kebijakan secara langsung. Kalau kita ingn
meneruskan langkah reformasi, maka kebutuhan akan suara yang banyak juga amat
dibutuhkan, sehingga dapat mengimbangi atau mengalahkan mereka yang ingin
memacetkan reformasi.
Dalam kaitan inilah maka para pemain yang aktif di
tengah lapangan politik akan sama mulianya dengan para wasit yang tidak
memihak. Sebab pemain tanpa wasit dapat amburadul, tetapi wasit tanpa pemain
aktif di lapangan juga tidak lucu. Upaya
untuk memperbaiki lapangan pun akan lebih mudah dilakukan oleh para pemain itu
sendiri.
Dengan demikian, politik jangan dijauhi, tetapi harus
dihadapi. Para pemimpin kita di masa silam pun selalu berusaha menghadapi
politk, bukan lari tunggang langgang darinya.
*)
Praktisi hukum, mantan Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Pemuda Muhammadiyah DIY dan menjadi muballigh keliling di Yogyakarta.
Ditulis Oleh : Unknown ~ Amierul El Neymar JR
Sobat sedang membaca artikel tentang Menjadi Pemain Politik. Dan terimakasih atas kunjungan sobat. Oleh Admin : Sobat diperbolehkan mengcopy paste atau menyebar-luaskan artikel ini, namun jangan lupa untuk meletakkan link dibawah ini sebagai sumbernya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar