Budaya lokal Indonesia yang
mayoritas telah mengalami ‘Sentuhan’ Islam dapat ditandai dari beberapa hal.
Pertama, busana budaya lokal di
kawasan budaya tersebut telah didesain untuk menutup aurat, baik aurat laki-laki
maupun perempuan. Coba simak, dimana sentuhan Islam di masa silam cukup
dominan, antara lain lewat berfungsinya kerajaan-kerajaan Islam yang membentang
dari Aceh sampai Arafuru maka busana tradisional di tempat-tempat tersebut
sudah tidak bertentangan dengan syariat Islam, dalam arti sudah menutup aurat.
Yang membedakan antara satu
daerah dengan daerah lain hanya pernik-pernik, filosofi di balik busana dan kelengkapannya. Tentang
kapan busana tradisional itu dikenakan, di hampir semua budaya etnik di
Indonesia nyaris seragam, Busana tradisional yang sudah Islami itu dikenakan
untuk dua keperluan. Saat menjalani kehidupan sehari-hari, saat ada upacara dan
kegiatan adat yang dikaitkan dengan siklus kehidupan manusia (mulai dari lahir,
inisiasi/khitan, belajar mencari ilmu/mengaji, menikah, melahirkan, meninggal)
maupun kegiatan yang dikaitkan degan siklus musim tahunan, atau dikaitkan
dengan siklus hari-hari besar keagamaan, dan kegiatan rutin yang diadakan oleh
kerajaan.
Kedua, seni pertunjukan lokal di kawasan budaya tersebut juga didesain
untuk mewartakan nilai-nilai Islam. Mulai dari nada-nada instrumen musik
tradisional (dimana antara lain para wali mampu melakukan ‘revolusi’ musik
mengubah gamelan menjadi memiliki karakter spiritual Islam), tema-tema garapan,
kostum dan pola gerak maupun etika main di panggung sebenarnya secara simbolik
sudah berdakwah dengan sendirinya. Seni pertunjukan lokal dari Aceh sampai Maluku (negeri para raja) ini betul-betul memiliki nilai fungsional dalam kehidupan masyarakat
waktu itu. Yaitu sebagai penanda hari, penanda waktu dan penanda
momentum-momentum kultural yang sengaja diciptakan oleh kerajaan Islam atau
oleh masyarakar setempat. Dengan demikian seni pertunjukan ini dihidupi oleh
masyarakat, dan secara ruhani menghidupi masyarakatnya. Nilai-nilai Islam yang
telah dikemas apik dapat mengalir ke dalam kerongkongan jiwa masyarakat,
menyegarkan kehidupan mereka, tanpa terasa dan tanpa paksaan.
Ketiga, seni membuat makanan
tradisional lokal di kawasan budaya tersebut juga telah didesain sesuai dengan
ajaran Islam. Yaitu mengandung insur halal dan thoyib sekaligus. Makanan dan
penganan, juga minuman lokal yang diolah dengan aneka rempah-rempah, berasal
dari bahan yang halal.
Berbagai jenis makanan yang diolah dengan
banyak bumbu dan rempah-rempah itu ternyata mengandung keseimbangan berbagai
kandungan zat yang dibutuhkan tubuh. Menyehatkan dan sesuai dengan iklim
tropis. Berbagai rasa yang khas yang cocok dengan lidah, yang sebagian
terpengaruh oleh masakan dari Arab, India, Pakistan, Tiongkok, sebagaian lagi
merupakan hasil kreativitas local berupa penemuan sendiri selain lezat memang
sungguh menyehatkan. Apalagi waktu itu belum ada bumbu sintetis macam bumbu
masak kimia. Segalanya masih alami dan segar. Oleh karena itu tidak
mengherankan kalau orang dulu relatif lebih sehat dan lebih berumur panjang
karena mereka mampu menjaga kualitas makanannya.
Keempat, seni kerajinan yang semula
dilahirkan untuk memenuhi kebutuhan praktis rumah tangga dan memenuhi kebutuhan
simbolis kerajaan pun banyak yang disentuh dengan ajaran Islam. Berbagai karya
puncak seni ukir, seni anyam, seni tenun, seni batik, seni melukis kaca
misalnya banyak dihasilkan oleh masyarakat yang menjadi basis pengembangan
Islam. Dengan menggunakan metode stilisasi, deformasi, sublimasi dan
simbolisasi yang lembut dan dalam maka pesan-pesan spiritual Islam dapat
dikemas dalam bentuk karya artistik kerajinan ini.
Kelima, seni arsitektur mengalami
perubahan yang cukup penting. Setelah agama Islam datang di Indonesia, maka
arsitektur bangunan hunian keluarga, bangunan publik bahkan pola pengaturan
sebuah kota pun mengalami perubahan. Kota-kota yang disesain oleh para pendiri
kerajaan-kerajaan Islam memiliki ciri khas untuk menyatukan kraton, alun-alun,
masjid, pasar atau bandar dalam satu unit yang padu. Sementara itu secara
detail pesan-pesan Islam dapat dibaca pada pengaturan rumah, yang didesain ada
peshalatan atau musholla, tempat berwudlu dan ruang pendapat atau banguna lain
sebagai tempat untuk menjalin silaturahmi dengan tamu dan tetangga. Pada
bangunan publik pun demikian.
Lima unsur pembentuk budaya
local itu hari ini mengalami nasib yang berbeda-beda. Ada yang masih dapat
dipertahankan, ada yang sudah nyaris punah, ada yang mengalami proses pemaksaan
deislamisasi, sekularisasi, dan ada pula
yang mengalami transformasi budaya. Terutama ketika kemudian sumber daya budaya
ini lantas dipahami sebagai sumber daya ekonomi. Orang sekarang menyebut
sebagai asset budaya, asset wisata lantas dijadikan obyek wisata dan pelengkap
wisata. Ada beberapa tempat yang mengalami nasib mujur karena transformasi
budaya unsur pembentuk budaya lokal kemudian mampu menyejahterakan penduduk
setempat. Tetapi ada juga di beberapa tempat penduduk yang mayoritas Islam itu
hanya mendapat remah-remah, sementara yang panen keuntungan justru para pemodal
dan orang asing.
Sebenarnya kalau saja Lembaga
Seni Budaya atau Majelis Kebndayaan Muhammadiyah mau dan mampu menjadi
pendamping pada pendukung budaya local itu maka transformasi budaya yang
terjadi dapat terarah dan mengarah pada transformasi yang positif, yang
berkarakter rahamatan lil ‘alamin. Tetapi kapan ini terjadi? Itu masalahnya.
Ditulis Oleh : Unknown ~ Amierul El Neymar JR

Tidak ada komentar:
Posting Komentar